Aku suka hujan. Tidak ada alasan yang pasti mengapa aku begitu menyukai hujan. Rasanya aku benar-benar menikmati tiap tetesannya yang jatuh ke bumi. Meskipun terkadang menjengkelkan karena kerap kali menghambat aktivitas, tapi ujung-ujungnya kadang aku juga suka nekad menerobos, kalau ga bawa payung. Tapi setelah dipikir, beberapa tahun terakhir aku tak pernah memanfaatkan fungsi payung hahaha. Rasanya damai saja, ketika langkah kakiku beradu dengan derasnya air yang turun. Basah sudah pasti, paling aku uring-uringan sendiri sampe indekos karena harus mengepel lantai yang juga ikut imbas basahnya karena pakaianku. Ngomong-ngomong soal hujan. Tampaknya November ini mulai memasuki musim hujan. Setelah kemarau panjang di bumi Jakarta dan sekitarnya, beberapa hari terakhir ini hujan mulai mengguyur. Langit mulai menggelap di siang atau sore hari, lalu malamnya tetesan air itu pun berhasil mencapai bumi. Seperti malam ini, malam minggu. Malam yang ditunggu oleh banyak orang, entah untuk men
Bismillah Matahari bersinar terlalu terik kala itu. Seperti biasa. Mekah memang seperti itu. Seorang pemuda tampan berjalan menyusuri Kota Mekah. Seantero Mekah juga tahu siapa pemuda yang tengah berjalan itu, ditambah lagi dengan ciri khas aroma parfum yang digunakannya. Parfum dari negeri Yaman, parfum mewah dan mahal yang tidak sembarangan orang memakainya. Dia pemuda yang banyak gadis memujanya, bukan hanya karena ketampanannya, tapi juga karena kecerdasan dan kecemerlangannya. Pemuda yang terlahir dari keluarga kaya dan penuh kemewahan. Tak pernah satupun keinginannya di tolak oleh kedua orang tuanya. Dia adalah Ibnu Umair, atau dikenal dengan lengkap sebagai Mush’ab bin Umair. Langkah kakinya terus menyusuri Kota Mekah hingga ia tiba di Bukit Shafa, di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Darul Arqam, begitulah kaum muslimin mengatakannya. Ia kesini bukan tanpa tujuan. Hari-harinya selalu diliputi tanda tanya mengenai sosok Muhammad yang selalu saja diperbincangkan oleh orang-orang