Langsung ke konten utama

Gugurnya Sang Panji Uhud

Bismillah

Matahari bersinar terlalu terik kala itu. Seperti biasa. Mekah memang seperti itu. Seorang pemuda tampan berjalan menyusuri Kota Mekah. Seantero Mekah juga tahu siapa pemuda yang tengah berjalan itu, ditambah lagi dengan ciri khas aroma parfum yang digunakannya. Parfum dari negeri Yaman, parfum mewah dan mahal yang tidak sembarangan orang memakainya. Dia pemuda yang banyak gadis memujanya, bukan hanya karena ketampanannya, tapi juga karena kecerdasan dan kecemerlangannya. Pemuda yang terlahir dari keluarga kaya dan penuh kemewahan. Tak pernah satupun keinginannya di tolak oleh kedua orang tuanya.

Dia adalah Ibnu Umair, atau dikenal dengan lengkap sebagai Mush’ab bin Umair.

Langkah kakinya terus menyusuri Kota Mekah hingga ia tiba di Bukit Shafa, di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Darul Arqam, begitulah kaum muslimin mengatakannya. Ia kesini bukan tanpa tujuan. Hari-harinya selalu diliputi tanda tanya mengenai sosok Muhammad yang selalu saja diperbincangkan oleh orang-orang Mekah akhir-akhir ini. Mengenai agama baru dan pengakuannya sebagai Nabi. Hatinya berdesir gelisah, ingin segera mengetahui perihal berita yang tersebar dari sosoknya langsung. 

Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam.

Sesampainya disana, dia melihat orang-orang berkumpul dengan khusyuk memperhatikan satu sosok yang menjadi pusat perhatian semuanya. Selanjutnya, mereka membaca sesuatu yang indah yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Kalimat yang indah dipadukan dengan suara lembut yang memancar dari bibir-bibir mereka. “Apa ini? Ini benar-benar menenangkan hatiku.”, ucapnya.

Masuklah Mush’ab ke Darul Arqam dan mengikuti apa yang mereka lakukan. Hatinya menjadi tenang sekarang, hilang rasa gelisah dan gundah yang sebelumya menyelimuti hatinya. “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”, tegas dia berkata tanpa ada keraguan dan kompromi dengan hatinya lagi. Detik itu. Pemuda tampan Mekah, Mush’ab bin Umair, masuk ke dalam Islam.

Perasaan tenang menyelimuti hatinya. Pulang menuju rumahnya tanpa rasa takut dalam diri. Hanya saja dia tahu, bahwa Ibunya adalah orang yang sangat keras. Ibunya sangat mencintai sesembahannya. Ia akan merasa sulit jika langsung mengatakan keislamannya dihadapan sang Ibu. Dengan pemikiran yang matang, akhirnya ia memutuskan untuk menyembunyikan keislamannya dihadapan kedua orang tuanya. Ia masih disambut begitu hangat oleh ibunya setiba di rumah. Berbagai macam buah-buahan dari penjuru Timur Tengah sudah tersedia di meja makan. Ibunya pun sudah menyiapkan pakaian yang paling bagus dengan parfum yang spesial di datangkan dari Yaman. Seperti biasanya.

Mush’ab masih saja sembunyi-sembunyi untuk belajar Islam di Darul Arqam. Namun, menghadapi Mekah tidaklah begitu mudah. Seluruh masyarakatnya akan terus diintai pergerakannya oleh para pemuka suku selama Nabi Muhammad beserta pengikutnya masih menyiarkan perihal agama baru. Dan pada akhirnya, pengintaian pada dirinya sudah dilakukan sejak gerak-geriknya mulai dicurigai pemuka suku. Hingga akhirnya, kabar keislamannya pun sampai ke telinga sang Ibu.

“Demi Latta dan Uzza, bagaimana kau bisa meninggalkan agama nenek moyangmu hai Mush’ab?”, teriak Ibu Mush’ab dengan amarah yang memuncak.

“Aku mengakui bahwa hanya ada satu Tuhan di dunia ini, Bu. Yaitu Allah, dan Nabi Muhamad adalah utusan-Nya untuk menyampaikan firman-firman agung-Nya”, jawab Mush’ab dengan tenang.

“Demi Allah aku tidak akan makan sampai engkau kembali kepada agama nenek moyangmu.”

“Aku tidak akan meninggalkan Allah hanya karena aku memilihmu, wahai Ibu. Allah telah menciptakanku dan memberikan cahaya ke dalam hatiku melalui Rasul-Nya.”

Ibunya hanya diam tak berkutik ketika mengetahui bahwa keteguhan hati anaknya tak akan pernah goyah. Namun, dia tetap tidak menyerah. Aksi mogok makannya terus ia lancarkan. Hingga mulai lemahlah seluruh tubuhnya. Mush’ab yang melihat ibunya yang terkulai lemah sangat menyayat hatinya, namun keteguhan hatinya di atas agama Allah jauh lebih kokoh. “Wahai Ibu, makanlah. Aku tidak akan kembali ke agamaku yang dulu meskipun kau dalam keadaan lemah seperti ini”, ujar Mush’ab sambi menyodorkan makanan kepada sang Ibu.

Ibu Mush’ab akhirnya menyerah dengan aksi mogok makannya. Namun tidak dengan aksi untuk mengembalikan anaknya kembali. Dia memulai dengan tidak memberi makanan, uang, serta baju kepada Mush’ab lagi. Hal itu terus berlanjut hingga baju Mush’ab yang biasanya selalu harum dan rapi berubah menjadi baju yang lusuh dan sudah banyak robekan. Namun sekali lagi, keteguhannya di atas agama Allah jauh dari segala nikmat dunia dan seisinya. Ibu Mush’ab sudah putus asa. Akhirnya ia mulai mengurung Mush’ab untuk tidak keluar dan bertemu dengan kaum muslimin lainnya.

Mush’ab adalah anak yang cerdas sehingga ia bisa mencari jalan keluar dari ruang sekapannya begitu mendengar bahwa kaum muslimin hendak hijrah ke Habasyah. Ia berhasil dalam pelariannya dan ikut serta dalam hijrah. Saat mereka kembali lagi ke Mekah, ibunya kembali berusaha untuk mengurung Mush’ab lagi. Namun ia terhindar dari hal itu. “Demi Allah jika Ibu hendak mengurungku lagi, aku akan membunuh seluruh orang yang Ibu suruh”, ucapnya dengan hati yang sesungguhnya sudah sangat sedih.

“Pergilah semaumu. Kau bukan anakku lagi!”

Mush’ab mendekati Ibunya dengan air mata yang ia tahan. “Wahai Ibu, sungguh aku hanya ingin Ibu masuk ke dalam Islam. Maka bersaksilah bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.”

“Demi bintang sekalipun, aku tidak akan masuk ke dalam agamamu. Sungguh akalku akan melemah setelah itu.”

Mush’ab pun tak dapat berbuat banyak. Akhirnya ia pergi meninggalkan Ibunya dengan hati yang sangat sedih. Mush’ab berangkat menuju Madinah karena perintah Rasulullah untuk berdakwah disana. Ia hanya membawa satu baju yang digunakannya. Meninggalkan segala fasilitas mewah yang selama ini dipakainya.

Mush’ab adalah duta pertama yang dikirim Rasulullah untuk menyampaikan Islam di Madinah. Atas izin Allah, berkat kecerdasan dan kecemerlangannya, Mush’ab berhasil mengislamkan hampir seluruh orang Madinah. Dakwahnya yang lembut dan tenang membuat ia begitu mudah diterima disana. Hingga akhirnya Madinah menjadi tempat hijrah Rasulullah dan kaum muslimin.

Hari demi hari, tahun demi tahun terus dilewati Mush’ab dengan cahaya Islam. Hingga akhirnya Perang Uhud tiba. Mush’ab dipercaya oleh Rasulullah sebagai pemegang panji peperangan. Dengan sikap yang gagah, Mush’ab memegah teguh panji perang yang diamanahkan kepadanya. Hingga peperangan pecah, ia menghadapi musuh yang jumlahnya lebih banyak dari pasukannya. Namun, Mush’ab sama sekali tidak gentar. Tangannya tetap memegang panji dengan kokoh, tangannya yang lain memegang pedang untuk menebas lawan yang ada di hadapannya. Perang berhasil dimenangkan oleh kaum muslimin dan berhasil memukul mundur pasukan Quraisy. Namun bencana lain datang saat pasukan panah turun dari bukit untuk mengambil harta rampasan. Hingga akhirnya pasukan Quraisy dari sisi lain kembali menyerang kaum muslimin.

Saat itu keadaan berbalik, dimana pasukan muslimin terdesak dan kocar-kacir, mereka kembali menghadap musuh. Dan Mush’ab masih berdiri tegak di posisinya. Lalu datanglah Ibnu Qami’ah menebas tangan kanannya, yang saat itu memegang paji perang, hingga terputus. “Muhammad itu tiada lain adalah seorang rasul yang telah didahului oleh rasul-rasul sebelumnya”, ucap Mush’ab tak gentar.

Ia berusaha mengambil kembali panji perang dengan tangan kirinya, namun saat itu juga musuh kembali menebas tangan kirinya. Tak pantang menyerah, diambil panji perang dengan kedua pangkal tangannya sambil membungkuk. Didekapnya panji itu sambil berkata dengan lantang, “Muhammad itu tiada lain adalah seorang rasul yang telah didahului oleh rasul-rasul sebelumnya.”

Untuk terakhir kalinya Ibnu Qami’ah menyerangnya. Kali ini dengan tombak dan menusuknya hingga akhirnya Mush’ab gugur dan jatuhlah panji perang kaum muslimin. Ia jatuh sebagai syuhada. Sebagai bintang dan mahkota.

Pemuda Mekah yang kaya dan tampan gugur di bawah cayaha Islam dengan meninggalkan segala fasilitas yang ia punya sebelumnya. Ia meninggal dengan kain kafan yang tak cukup menutupi tubuhnya. Sampai-sampai saat peperangan usai, Rasulullah melihat jasadnya smabil menangis dan berkata, “Dahulu ketika di Mekah tidak ada seorang pun yang ku lihat halus pakaiannya dan lebih indah rambutnya selain engkau. Namun, sekarang, engkau gugur dengan rambutmu yang kusut masai dan hanya dibalut sehelai kain.”

Assalamu’alaika ya Mush’ab. Engkau ridha kepada Allah dan Allah ridha kepadamu.

Wallahu'alam bisshawab.

Sumber bacaan : Khalid Muhammad Khalid, 60 Biografi Sahabat Rasulullah, (Jakarta : Qisthi Press, 2015)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Praktikum Kimia Menentukan Perubahan Entalpi

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA MENENTUKAN PERUBAHAN ENTALPI REAKSI   OLEH             KELOMPOK                                    : II ANGGOTA                                       : 1.       ADI YULIANTTO                                                    2155905 2.       ARIZKY PERWIRA RANGKUTI                          2155908 3.       FADHILLAH NUR PRATIWI                                 2155915 4.       FAISAL ALFANSURI S                                          2155916 5.       FUADIANTI AULIA                                                2155919 KELAS                                              : XI IPA 6 TANGGAL PRAKTIKUM             : 15 September 2016 GURU PEMBIMBING                   : Darmayanto S.Pd., M.Si SMAN 1 (PLUS) MATAULI PANDAN T.P 2016-2017 1.1 JUDUL PRAKTIKUM             Menentukan Perubahan Entalpi Reaksi 1.2 TUJUAN PRAKTIKUM             1) Dapat menentukan perubahan entalpi pada reaksi ant

Lelah atau Menyerah

"Jika kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka kamu akan menanggung bahayanya kebodohan." - Imam Syafi'i - "Ada apa hari ini?", tanyanya disela rasa lelah yang saat ini menyelimutiku. Aku tidak memiliki tenaga hari ini. Cukup. Aku malas menjawabnya. Aku menelungkupkan kepalaku di atas meja.  "Hei!" "Aku lelah, ku mohon. Aku malas untuk berbicara." "Kau sedang lelah atau menyerah?" "Sama saja." "Tentu berbeda. Jika kau lelah silahkan istirahat sejenak untuk kembali menata hati dan kembali melangkah. Tapi jika kau menyerah, harus apa? Bukankah menyerah adalah akhir segalanya?" "Aku menyerah karena sudah sangat lelah dengan semuanya." "Apa yang kau lelahkan hingga membuatmu menyerah?" "Perjuangan ini." "Perjuangan semacam apa yang membuatmu begitu cepat menyerah? Perjuangan meraih ambisi dunia? Jika iya, pantas saja kau mudah menyerah." Mendengar jawabannya aku menegak