Langsung ke konten utama

Payung di Kala Hujan: Ketika Kau Tak Bisa Memprediksi Masa Depan

Aku suka hujan. Tidak ada alasan yang pasti mengapa aku begitu menyukai hujan. Rasanya aku benar-benar menikmati tiap tetesannya yang jatuh ke bumi. Meskipun terkadang menjengkelkan karena kerap kali menghambat aktivitas, tapi ujung-ujungnya kadang aku juga suka nekad menerobos, kalau ga bawa payung. Tapi setelah dipikir, beberapa tahun terakhir aku tak pernah memanfaatkan fungsi payung hahaha. Rasanya damai saja, ketika langkah kakiku beradu dengan derasnya air yang turun. Basah sudah pasti, paling aku uring-uringan sendiri sampe indekos karena harus mengepel lantai yang juga ikut imbas basahnya karena pakaianku.

Ngomong-ngomong soal hujan. Tampaknya November ini mulai memasuki musim hujan. Setelah kemarau panjang di bumi Jakarta dan sekitarnya, beberapa hari terakhir ini hujan mulai mengguyur. Langit mulai menggelap di siang atau sore hari, lalu malamnya tetesan air itu pun berhasil mencapai bumi.

Seperti malam ini, malam minggu. Malam yang ditunggu oleh banyak orang, entah untuk menikmati akhir pekan atau sekadar bercengkrama dengan keluarga dan teman. Hujan mengguyur kawasan Blok M. Kawasan yang cukup sering kudatangi di kala malam minggu. Blok M memang tidak pernah sepi dengan manusia, apalagi malam minggu seperti saat ini. Bahkan di tengah guyuran hujan pun, masih banyak manusia yang berlalu lalang ditemani payung ataupun jas hujan. Ada juga yang mencoba berteduh, menunggu hujan berhenti. Atau setidaknya reda.

Sementara aku? Jangan tanya. Aku sudah menyusuri trotoar kawasan Kopi Tuku sejak tadi. Hujannya tidak terlalu deras, pikirku. Jadi seperti biasa aku nekad menerobos. Hanya berlindung di balik hijab yang kukenakan, aku sedikit berlari kecil menuju halte busway. Tentu saja aku tidak membawa payung.

Malam belum larut sebenarnya, tapi aku malas saja menunggu hujan benar-benar berhenti. Jadi aku putuskan untuk menerobos hujan.

Aku sudah sampai di pemberhentian busway. Di depan Taman Literasi Martatiahahu. Tidak persis di pemberhentiannya, karena aku membutuhkan tempat untuk meneduh dari hujan agar aku tidak terlalu basah masuk ke busway. Aku pun berlindung di bawah lintasan MRT Blok M, sambil menunggu busway tujuanku datang dari kejauhan. Tidak terlalu jauh juga sih.

Aku pikir hujan akan semakin reda, ternyata dugaanku salah. Hujan justru semakin deras dan buswayku belum terlihat juga. Aku mulai was-was, naik busway yang akan banyak orang dalam keadaan basah bukanlah sesuatu yang mengenakkan. Tapi untungnya, sebelum hujan semakin deras dan aku semakin basah, busway sudah terlihat di ujung tikungan pemberhentian. Aku pun berlari, menuju tempat di mana persis busway itu akan berhenti.

Syukurlah.

Aku sudah naik, setidaknya kalau hujan semakin deras aku sudah berada di dalam, berlindung. Tinggal berharap dan berdo’a semoga sampai Ciputat hujan tidak semakin deras atau kalau bisa berhenti. Minimal reda. Biar aku bisa cepat sampai indekos.

Emang dasar manusia, banyak maunya

Tapi harapanku pupus, ternyata hujan semakin deras ketika buswayku sudah mendekati Ciputat. Sepanjang jalan aku masih mencoba berdo’a, semoga Allah meredakan hujannya. Sambil berpikir dan merencanakan, gimana cara aku bisa tiba di indekos kalau hujan masih belum reda.

Aku mencoba terus berpikir. Sialnya, kenapa pertama kali cara yang keluar dari pikiranku adalah dia. Seorang yang satu tahun terakhir ini selalu menjadi andalanku. Masalahnya, aku tidak bisa mengandalkan dia kali ini.

Karena… Memang keadaan yang membuatku tidak bisa terus menerus mengandalkan dia. Tapi entah kenapa aku masih saja terus merasa benar-benar membutuhkannya di sampingku.

Sungguh berat rasanya ketika kau harus kehilangan orang yang selama ini mendukungmu dan orang yang paling bisa kau andalkan dalam masa sulitmu.

“Ah lagi-lagi aku lemah. Kenapa harus dia yang pertama kali terpikirkan sih!”, gumamku dalam hati.

Kepalaku terus ribut dengan pikirannya sendiri. Antara menunggu hujan yang semakin deras ini di halte hingga berhenti atau aku memang harus menghubunginya untuk mengantarkan payung. “Oh Allah, berikan aku jalan terbaik dari sisi-Mu.”

Sepanjang jalan aku benar-benar tidak terpikirkan jalan keluar lain selain menghubunginya. Sungguh. Kesal rasanya.

Aku berusaha dengan kuat untuk tidak menghubunginya. Syukurnya, busway pun sudah sangat padat ketika sampai di Lebak Bulus, jadi aku tidak punya kesempatan yang pas untuk menghubunginya melalui ponselku.

Ketika aku sudah harus turun di halte penurunanku. Hujan tidak menunjukkan akan berhenti atau reda, justru semakin deras dengan kilat dan petir yang sekali-kali menyertai. Aku sudah pasrah, “Ya sudahlah, turun dulu, kalau lama juga berhentinya. Mau ga mau aku harus menghubunginya”, pikirku.

Aku pun turun dan menepi di halte. Untungnya halte yang kuturuni memiliki atap yang cukup bisa diandalkan untuk meneduh.

Sejak saat itu pula, aku benar-benar takjub dengan rencana Allah. Siapa sangka di malam yang semakin larut ternyata aku bertemu dengan teman baikku di halte. Dia sedang menunggu taksi online untuk menuju ke suatu tempat.

Tak disangkanya, temanku membawa payung. Barang yang kubutuhkan. Lihat! Betapa luar biasanya Allah!

Aku benar-benar sudah pasrah dengan semua rencanaku. Aku benar-benar tidak terpikirkan solusi apapun selain meminta bantuan dia, seorang yang sampai saat ini masih terasa spesial di hatiku.

Selama perjalanan juga aku berdoa ke Allah, untuk diberikan jalan yang terbaik. Berharap agar aku tidak menghubungi dan bertemu dengannya. Aku benar-benar sudah pasrah akan berakhir seperti apa aku di bawah rencana Allah.

Dan Allah benar-benar menunjukkan semuanya. Pada detik itu juga aku tersadarkan.

“Hei diri tau ga! Di dunia ga ada yang ga bisa dilakukan sama Allah. Ketika dirimu hanya teringat dan seolah-olah hanya satu orang yang bisa membantumu. Lihat Allah menunjukkan bahwa Dia punya cara lain membantumu dengan sesuatu yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya!”

Tiba-tiba petir menyambar. Kilatnya sekejap membuat malam menjadi terang. Seolah-olah ia juga sedang menyambar hatiku. Hati yang terlalu lemah, tapi dengan sombongnya sering mengandalkan diri sendiri dan manusia lain dalam banyak hal. Hati yang tidak menau soal masa depan, tapi suka sekali memberikan keputusan dengan menggebu.

Padahal kalau hati ini mengandalkan Allah saja, tidak ada yang perlu ditakutkan. Lihat semua benar-benar dibuktikan Allah secara langsung!

“Allah terima kasih. Rasanya aku benar-benar kehabisan kata-kata dengan semua takdir-Mu. Segala puji bagi Engkau, Wahai Raab Yang Maha Pengatur.”

Ya. Pada akhirnya, atas izin Allah payung teman baikku inilah yang kugunakan untuk jalan menuju indekos.

Aku salah.

Pada kenyataannya …

Aku bukan butuh dia untuk diandalkan. Tapi aku butuh Dia, Allah, untuk diandalkan.

Salam Hangat,

Fadh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Praktikum Kimia Menentukan Perubahan Entalpi

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA MENENTUKAN PERUBAHAN ENTALPI REAKSI   OLEH             KELOMPOK                                    : II ANGGOTA                                       : 1.       ADI YULIANTTO                                                    2155905 2.       ARIZKY PERWIRA RANGKUTI                          2155908 3.       FADHILLAH NUR PRATIWI                                 2155915 4.       FAISAL ALFANSURI S                                          2155916 5.       FUADIANTI AULIA                                                2155919 KELAS                                              : XI IPA 6 TANGGAL PRAKTIKUM             : 15 September 2016 GURU PEMBIMBING                   : Darmayanto S.Pd., M.Si SMAN 1 (PLUS) MATAULI PANDAN T.P 2016-2017 1.1 JUDUL PRAKTIKUM             Menentukan Perubahan Entalpi Reaksi 1.2 TUJUAN PRAKTIKUM             1) Dapat menentukan perubahan entalpi pada reaksi ant

Gugurnya Sang Panji Uhud

Bismillah Matahari bersinar terlalu terik kala itu. Seperti biasa. Mekah memang seperti itu. Seorang pemuda tampan berjalan menyusuri Kota Mekah. Seantero Mekah juga tahu siapa pemuda yang tengah berjalan itu, ditambah lagi dengan ciri khas aroma parfum yang digunakannya. Parfum dari negeri Yaman, parfum mewah dan mahal yang tidak sembarangan orang memakainya. Dia pemuda yang banyak gadis memujanya, bukan hanya karena ketampanannya, tapi juga karena kecerdasan dan kecemerlangannya. Pemuda yang terlahir dari keluarga kaya dan penuh kemewahan. Tak pernah satupun keinginannya di tolak oleh kedua orang tuanya. Dia adalah Ibnu Umair, atau dikenal dengan lengkap sebagai Mush’ab bin Umair. Langkah kakinya terus menyusuri Kota Mekah hingga ia tiba di Bukit Shafa, di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Darul Arqam, begitulah kaum muslimin mengatakannya. Ia kesini bukan tanpa tujuan. Hari-harinya selalu diliputi tanda tanya mengenai sosok Muhammad yang selalu saja diperbincangkan oleh orang-orang

Lelah atau Menyerah

"Jika kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka kamu akan menanggung bahayanya kebodohan." - Imam Syafi'i - "Ada apa hari ini?", tanyanya disela rasa lelah yang saat ini menyelimutiku. Aku tidak memiliki tenaga hari ini. Cukup. Aku malas menjawabnya. Aku menelungkupkan kepalaku di atas meja.  "Hei!" "Aku lelah, ku mohon. Aku malas untuk berbicara." "Kau sedang lelah atau menyerah?" "Sama saja." "Tentu berbeda. Jika kau lelah silahkan istirahat sejenak untuk kembali menata hati dan kembali melangkah. Tapi jika kau menyerah, harus apa? Bukankah menyerah adalah akhir segalanya?" "Aku menyerah karena sudah sangat lelah dengan semuanya." "Apa yang kau lelahkan hingga membuatmu menyerah?" "Perjuangan ini." "Perjuangan semacam apa yang membuatmu begitu cepat menyerah? Perjuangan meraih ambisi dunia? Jika iya, pantas saja kau mudah menyerah." Mendengar jawabannya aku menegak