“Ingin
ku tunjukan sesuatu yang lebih indah dari ini Azadeh?”
“Adakah
hal yang lebih indah dari ini, Gulzaar?”, Azadeh memandang sekilas Gulzaar.
Lalu matanya kembali memandang bangunan kecil yang memiliki arsitektur dengan
nuansa perpaduan budaya yang dapat memukau siapapun. Bangunan kecil itu
didirikan untuk sebuah cafetaria di Kota tempat berpijak kedua wanita itu.
Azadeh
memang tak pernah meragukan Gulzaar
tentang masalah rancang-merancang bangunan. Dia tau, bahwa sahabatnya itu
sangat ahli dalam bidang ini. Azadeh juga sangat yakin, dengan arsitektur yang
dapat memukau pandangan ini, cafe yang hendak didirikan oleh Gulzaar ini akan
ramai dikunjungi oleh banyak orang.
Begitulah
Gulzaar.
Kini,
kedua wanita itu berjalan memasuki bangunan cafe itu. Gulzaar sebagai pemandu
jalan membawa Azadeh ke tempat yang saat ini masih menjadi rahasia. Tempat yang
tidak tampak dari luar bangunan karena tempat ini akan menjadi sebuah kejutan
bagi pengunjung cafe nantinya. Gulzaar dan Azadeh terus berjalan memasuki cafe
hingga akhirnya mereka berada di ujung, terlihat sebuah pintu yang tak akan
diketahui banyak orang jika itu bisa menghubungkan ke suatu tempat.
“Pintu
apa ini?”, tanya Azadeh penasaran.
“Kau
akan mengetahuinya nanti. Aku merancang ini hanya untuk mereka yang benar-benar
menyukai apa yang ada di dalam pintu ini, sehingga bagi mereka yang tidak menyukainya
hanya menganggap ini hanya pintu tak berguna dan tidak akan mengetahui bahwa
disini ada sesuatu yang tersembunyi.”
Azadeh
semakin dibuat penasaran oleh Gulzaar. Hingga detik Azadeh mulai memasuki pintu
ini, Azadeh sama sekali belum mengetahui apa yang ada di dalam pintu ini. Apa dia
bukan termasuk kategori orang yang dikatakan Gulzaar tadi?
Azadeh
dan Gulzaar melangkah masuk dengan menuruni anak tangga yang tidak terlalu
banyak jumlahnya.
“Ini
ruang bawah tanah Gulzaar?”, tanya Azadeh penasaran. Gulzaar tak menjawab, dia
terus saja berjalan menuruni anak tangga untuk tiba di suatu ruangan yang akan
ditunjukkannya pada Azadeh. Hingga tibalah mereka di ruangan yang terlihat pada
interior dindingnya di desain sangat baik menyerupai rak-rak buku. Dinding itu
dipenuhi dengan berbagai buku tanpa ada sela sedikitpun. “Kau tidak menyangka
bukan?”, tanya Gulzaar tersenyum.
Azadeh
mengangguk mengiyakan. “Ini impianmu bukan? Seorang pecinta buku yang memiliki
impian untuk membangun perpustakaan pribadi dan menjadikannya tempat baca sehingga
bisa dinikmati banyak orang?”
Gulzaar
tersenyum diikuti anggukan kecil, sahabatnya itu sangat mengetahui tentangnya. “Aku
bersykur pada Allah yang memudahkan semuanya.”
“Ini
benar-benar menakjubkan Gulzaar, kau memang luar biasa. Aku tak pantas untuk
meragukanmu. Bagaimana kau bisa merancang ini semua?”, tanya Azadeh yang
menunjukan kekaguman luar biasa dari matanya.
“Ucapanmu
sangat menggangguku Azadeh”, ujar Gulzaar dengan perubahan nada dalam bicaranya
yang menjadi lebih tegas.
Azadeh
yang masih terpukau hebat dengan seketika menoleh ke Gulzaar karena perubahan
suara Gulzaar yang di dengarnya terlihat seperti orang yang sangat kesal. Dilihatnya
sorot mata Gulzaar pun berubah menjadi sangat tajam menatap sekelilingnya. “Apa
maksudmu?”, tanya Azadeh.
“Ucapanmu
baru saja membuatku merasa gagal merancang ini semua.”
“Aku
merancang tempat ini karena rasa cintaku kepada ilmu yang mendekatku
dengan-Nya. Dan itu menjadi gagal karena kau yang merusak itu semua Azadeh”,
ucap Gulzaar semakin serius.
“Aku
tak paham dengan ucapanmu. Apa yang salah dariku?”
Gulzaar
menghela nafas, mencoba untuk menenangkan dirinya. “Manusia memang selalu lupa
akan hal yang sangat kecil. Kau melihat ini semua dengan hawa nafsumu, hingga
kau lupa mengucapkan kekagumanmu kepada-Nya yang sangat andil dalam ini semua,
dan aku gagal ternyata kau lebih menganggumi manusia daripada menganggumi-Nya.”
“Salahkah
aku menganggumimu? Bukankah ini semua idemu Gulzaar?”
Wajah
Gulzaar memerah. Memperlihatkan kekesalan yang ditahan kepada sahabatnya itu. “Bahkan
kau lupa bahwa ide yang terlintas dari hati dan pikiranku pun berasal dari
Allah. Tanpa petunjuk dari-Nya semua ini tak akan pernah ada.”
“Manusia
sering terlampau lupa jika sudah berhadapan dengan hawa nafsu. Ketika dihadapkan
kepada hal kecil yang menyenangkan hatinya, manusia sangat mudah lupa untuk mengagungkan
Allah. Namun ketika dihadapkan kepada hal kecil yang merusak hatinya, manusia sangat
mudah juga menyalahkan Allah. Sama-sama kecil, namun dari yang kecil dan
dianggap remeh manusia sering sekali menggeser posisi Tuhan dalam hidupnya, dan
semua itu karena manusia memandang hal yang kecil sebagai hawa nafsu bukan
sebagai karunia agung dari Allah.”
Azadeh
terdiam mendengar Gulzaar yang berbicara sangat panjang. Selama Azadeh menjadi
sahabat Gulzaar, Gulzaar hanya akan berbicara panjang jika dia sedang dalam
keadaan kesal, bukan marah. Karena Gulzaar tidak pernah mengenal marah. Marah
hanya sebuah ketidakgunaan emosi yang lebih banyak merusak daripada
menghasilkan solusi. Itulah sebabnya dalam hidup Gulzaar tidak ada kata marah.
Azadeh
sudah melakukan kesalahan. Itu yang ditangkapnya dari perubahan dalam nada
bicara Gulzaar . “Ampuni aku ya Allah”, lirih Azadeh dengan kepala tertunduk
dan mata yang terpejam.
Gulzaar
menoleh kaget ke arah Azadeh. Dilihat sahabatnya itu tengah khusyu’ berdo’a.
Gulzaar tersenyum bahagia dan hatinya cukup tenang melihat sahabatnya itu
menyadari kesalahannya. Gulzaar pun menutup mata dan menikmati setiap hembusan
nafasnya. Ia sangat menyukai aroma buku yang masih menyeruak tajam di ruangan
ini. Aroma yang menenangkan baginya.
“Aku
sangat bersyukur kau dikirim Allah untuk menjadi sahabatku, Gulzaar. Dengan karunia-Nya
kau menjadi pengingatku ketika salah. Terima kasih dan selalu ingatkan aku jika
aku melakukan kesalahan.”, ucap Azadeh dengan nada yang sangat tulus terdengar.
Gulzaar
tersenyum lebar. “Ingatkan aku pula Azadeh. Aku juga manusia yang sewaktu-waktu
melakukan kesalahan.”
Azadeh
memeluk Gulzaar tanpa aba-aba, membuat Gulzaar sedikit terkejut. Namun akhirnya,
Gulzaar pun membalas pelukan hangat sahabatnya itu.
Sangat
hangat.
Gulzaar
tertawa ringan dipelukan Azadeh. “Kau tak ingin membaca buku yang ada disini Azadeh?”
Azadeh
melepas pelukan Gulzaar. Dia menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku tidak ingin menjadi
seorang bibliophile.”
Gulzaar
menaikkan alisnya menatap Azadeh. “Jangan meremehkan ku dengan tatapanmu itu
Gulzaar, meskipun aku tak suka membaca aku tetap mengetahui julukan untuk pecinta
buku itu bibliophile”, kesal Azadeh.
Gulzaar
tertawa bahagia mendengar nada kesal Azadeh.
Komentar
Posting Komentar