Langsung ke konten utama

Bibliophile


“Ingin ku tunjukan sesuatu yang lebih indah dari ini Azadeh?”

“Adakah hal yang lebih indah dari ini, Gulzaar?”, Azadeh memandang sekilas Gulzaar. Lalu matanya kembali memandang bangunan kecil yang memiliki arsitektur dengan nuansa perpaduan budaya yang dapat memukau siapapun. Bangunan kecil itu didirikan untuk sebuah cafetaria di Kota tempat berpijak kedua wanita itu.

Azadeh  memang tak pernah meragukan Gulzaar tentang masalah rancang-merancang bangunan. Dia tau, bahwa sahabatnya itu sangat ahli dalam bidang ini. Azadeh juga sangat yakin, dengan arsitektur yang dapat memukau pandangan ini, cafe yang hendak didirikan oleh Gulzaar ini akan ramai dikunjungi oleh banyak orang. 

Gulzaar, artinya bunga mawar. Bagi Azadeh, nama itu sangat cocok disematkan untuk sahabatnya itu. Gulzaar adalah wanita yang sangat mirip dengan bunga mawar. Gulzaar sangat bersinar layakya mawar di musim panas. Dia wanita yang indah jika dipandang dari jauh, namun jika mendekat dia akan menjadi wanita yang kuat dan memiliki senjata yang tak dimiliki oleh wanita lain. Layaknya bunga mawar, bunga yang indah jika dipandang dari jauh, namun ketika kau mendekatinya, kau akan melihat duri di tangkainya. Duri itu sebagai perisai sang bunga untuk menghadapi kerasnya hidup yang dihadapinya.

Begitulah Gulzaar.

Kini, kedua wanita itu berjalan memasuki bangunan cafe itu. Gulzaar sebagai pemandu jalan membawa Azadeh ke tempat yang saat ini masih menjadi rahasia. Tempat yang tidak tampak dari luar bangunan karena tempat ini akan menjadi sebuah kejutan bagi pengunjung cafe nantinya. Gulzaar dan Azadeh terus berjalan memasuki cafe hingga akhirnya mereka berada di ujung, terlihat sebuah pintu yang tak akan diketahui banyak orang jika itu bisa menghubungkan ke suatu tempat.

“Pintu apa ini?”, tanya Azadeh penasaran.

“Kau akan mengetahuinya nanti. Aku merancang ini hanya untuk mereka yang benar-benar menyukai apa yang ada di dalam pintu ini, sehingga bagi mereka yang tidak menyukainya hanya menganggap ini hanya pintu tak berguna dan tidak akan mengetahui bahwa disini ada sesuatu yang tersembunyi.”

Azadeh semakin dibuat penasaran oleh Gulzaar. Hingga detik Azadeh mulai memasuki pintu ini, Azadeh sama sekali belum mengetahui apa yang ada di dalam pintu ini. Apa dia bukan termasuk kategori orang yang dikatakan Gulzaar tadi?

Azadeh dan Gulzaar melangkah masuk dengan menuruni anak tangga yang tidak terlalu banyak jumlahnya.

“Ini ruang bawah tanah Gulzaar?”, tanya Azadeh penasaran. Gulzaar tak menjawab, dia terus saja berjalan menuruni anak tangga untuk tiba di suatu ruangan yang akan ditunjukkannya pada Azadeh. Hingga tibalah mereka di ruangan yang terlihat pada interior dindingnya di desain sangat baik menyerupai rak-rak buku. Dinding itu dipenuhi dengan berbagai buku tanpa ada sela sedikitpun. “Kau tidak menyangka bukan?”, tanya Gulzaar tersenyum.

Azadeh mengangguk mengiyakan. “Ini impianmu bukan? Seorang pecinta buku yang memiliki impian untuk membangun perpustakaan pribadi dan menjadikannya tempat baca sehingga bisa dinikmati banyak orang?”

Gulzaar tersenyum diikuti anggukan kecil, sahabatnya itu sangat mengetahui tentangnya. “Aku bersykur pada Allah yang memudahkan semuanya.”

“Ini benar-benar menakjubkan Gulzaar, kau memang luar biasa. Aku tak pantas untuk meragukanmu. Bagaimana kau bisa merancang ini semua?”, tanya Azadeh yang menunjukan kekaguman luar biasa dari matanya.

“Ucapanmu sangat menggangguku Azadeh”, ujar Gulzaar dengan perubahan nada dalam bicaranya yang menjadi lebih tegas.

Azadeh yang masih terpukau hebat dengan seketika menoleh ke Gulzaar karena perubahan suara Gulzaar yang di dengarnya terlihat seperti orang yang sangat kesal. Dilihatnya sorot mata Gulzaar pun berubah menjadi sangat tajam menatap sekelilingnya. “Apa maksudmu?”, tanya Azadeh.

“Ucapanmu baru saja membuatku merasa gagal merancang ini semua.”

“Aku merancang tempat ini karena rasa cintaku kepada ilmu yang mendekatku dengan-Nya. Dan itu menjadi gagal karena kau yang merusak itu semua Azadeh”, ucap Gulzaar semakin serius.

“Aku tak paham dengan ucapanmu. Apa yang salah dariku?”

Gulzaar menghela nafas, mencoba untuk menenangkan dirinya. “Manusia memang selalu lupa akan hal yang sangat kecil. Kau melihat ini semua dengan hawa nafsumu, hingga kau lupa mengucapkan kekagumanmu kepada-Nya yang sangat andil dalam ini semua, dan aku gagal ternyata kau lebih menganggumi manusia daripada menganggumi-Nya.”

“Salahkah aku menganggumimu? Bukankah ini semua idemu Gulzaar?”

Wajah Gulzaar memerah. Memperlihatkan kekesalan yang ditahan kepada sahabatnya itu. “Bahkan kau lupa bahwa ide yang terlintas dari hati dan pikiranku pun berasal dari Allah. Tanpa petunjuk dari-Nya semua ini tak akan pernah ada.”

“Manusia sering terlampau lupa jika sudah berhadapan dengan hawa nafsu. Ketika dihadapkan kepada hal kecil yang menyenangkan hatinya, manusia sangat mudah lupa untuk mengagungkan Allah. Namun ketika dihadapkan kepada hal kecil yang merusak hatinya, manusia sangat mudah juga menyalahkan Allah. Sama-sama kecil, namun dari yang kecil dan dianggap remeh manusia sering sekali menggeser posisi Tuhan dalam hidupnya, dan semua itu karena manusia memandang hal yang kecil sebagai hawa nafsu bukan sebagai karunia agung dari Allah.”

Azadeh terdiam mendengar Gulzaar yang berbicara sangat panjang. Selama Azadeh menjadi sahabat Gulzaar, Gulzaar hanya akan berbicara panjang jika dia sedang dalam keadaan kesal, bukan marah. Karena Gulzaar tidak pernah mengenal marah. Marah hanya sebuah ketidakgunaan emosi yang lebih banyak merusak daripada menghasilkan solusi. Itulah sebabnya dalam hidup Gulzaar tidak ada kata marah.

Azadeh sudah melakukan kesalahan. Itu yang ditangkapnya dari perubahan dalam nada bicara Gulzaar . “Ampuni aku ya Allah”, lirih Azadeh dengan kepala tertunduk dan mata yang terpejam.

Gulzaar menoleh kaget ke arah Azadeh. Dilihat sahabatnya itu tengah khusyu’ berdo’a. Gulzaar tersenyum bahagia dan hatinya cukup tenang melihat sahabatnya itu menyadari kesalahannya. Gulzaar pun menutup mata dan menikmati setiap hembusan nafasnya. Ia sangat menyukai aroma buku yang masih menyeruak tajam di ruangan ini. Aroma yang menenangkan baginya.

“Aku sangat bersyukur kau dikirim Allah untuk menjadi sahabatku, Gulzaar. Dengan karunia-Nya kau menjadi pengingatku ketika salah. Terima kasih dan selalu ingatkan aku jika aku melakukan kesalahan.”, ucap Azadeh dengan nada yang sangat tulus terdengar.

Gulzaar tersenyum lebar. “Ingatkan aku pula Azadeh. Aku juga manusia yang sewaktu-waktu melakukan kesalahan.”

Azadeh memeluk Gulzaar tanpa aba-aba, membuat Gulzaar sedikit terkejut. Namun akhirnya, Gulzaar pun membalas pelukan hangat sahabatnya itu.

Sangat hangat.

Gulzaar tertawa ringan dipelukan Azadeh. “Kau tak ingin membaca buku yang ada disini Azadeh?”

Azadeh melepas pelukan Gulzaar. Dia menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku tidak ingin menjadi seorang bibliophile.”

Gulzaar menaikkan alisnya menatap Azadeh. “Jangan meremehkan ku dengan tatapanmu itu Gulzaar, meskipun aku tak suka membaca aku tetap mengetahui julukan untuk pecinta buku itu bibliophile”, kesal Azadeh.

Gulzaar tertawa bahagia mendengar nada kesal Azadeh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Praktikum Kimia Menentukan Perubahan Entalpi

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA MENENTUKAN PERUBAHAN ENTALPI REAKSI   OLEH             KELOMPOK                                    : II ANGGOTA                                       : 1.       ADI YULIANTTO                                                    2155905 2.       ARIZKY PERWIRA RANGKUTI                          2155908 3.       FADHILLAH NUR PRATIWI                                 2155915 4.       FAISAL ALFANSURI S                                          2155916 5.       FUADIANTI AULIA                                                2155919 KELAS                                              : XI IPA 6 TANGGAL PRAKTIKUM             : 15 September 2016 GURU PEMBIMBING                   : Darmayanto S.Pd., M.Si SMAN 1 (PLUS) MATAULI PANDAN T.P 2016-2017 1.1 JUDUL PRAKTIKUM             Menentukan Perubahan Entalpi Reaksi 1.2 TUJUAN PRAKTIKUM             1) Dapat menentukan perubahan entalpi pada reaksi ant

Gugurnya Sang Panji Uhud

Bismillah Matahari bersinar terlalu terik kala itu. Seperti biasa. Mekah memang seperti itu. Seorang pemuda tampan berjalan menyusuri Kota Mekah. Seantero Mekah juga tahu siapa pemuda yang tengah berjalan itu, ditambah lagi dengan ciri khas aroma parfum yang digunakannya. Parfum dari negeri Yaman, parfum mewah dan mahal yang tidak sembarangan orang memakainya. Dia pemuda yang banyak gadis memujanya, bukan hanya karena ketampanannya, tapi juga karena kecerdasan dan kecemerlangannya. Pemuda yang terlahir dari keluarga kaya dan penuh kemewahan. Tak pernah satupun keinginannya di tolak oleh kedua orang tuanya. Dia adalah Ibnu Umair, atau dikenal dengan lengkap sebagai Mush’ab bin Umair. Langkah kakinya terus menyusuri Kota Mekah hingga ia tiba di Bukit Shafa, di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Darul Arqam, begitulah kaum muslimin mengatakannya. Ia kesini bukan tanpa tujuan. Hari-harinya selalu diliputi tanda tanya mengenai sosok Muhammad yang selalu saja diperbincangkan oleh orang-orang

Lelah atau Menyerah

"Jika kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka kamu akan menanggung bahayanya kebodohan." - Imam Syafi'i - "Ada apa hari ini?", tanyanya disela rasa lelah yang saat ini menyelimutiku. Aku tidak memiliki tenaga hari ini. Cukup. Aku malas menjawabnya. Aku menelungkupkan kepalaku di atas meja.  "Hei!" "Aku lelah, ku mohon. Aku malas untuk berbicara." "Kau sedang lelah atau menyerah?" "Sama saja." "Tentu berbeda. Jika kau lelah silahkan istirahat sejenak untuk kembali menata hati dan kembali melangkah. Tapi jika kau menyerah, harus apa? Bukankah menyerah adalah akhir segalanya?" "Aku menyerah karena sudah sangat lelah dengan semuanya." "Apa yang kau lelahkan hingga membuatmu menyerah?" "Perjuangan ini." "Perjuangan semacam apa yang membuatmu begitu cepat menyerah? Perjuangan meraih ambisi dunia? Jika iya, pantas saja kau mudah menyerah." Mendengar jawabannya aku menegak