Langsung ke konten utama

Kematian

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” 

(QS. An-Nisa' : 78)


Aku berlari kecil menuju halte bus di dekat indekos ku. Hari ini aku memiliki janji untuk pergi entah kemana bersama sahabatku. Beberapa jam yang lalu dia menghubungiku secara mendadak untuk mengajakku ke suatu tempat yang sampai sekarang tak diberitahunya.

Aku pun mengiyakan ajakannya mengingat aku butuh sedikit refreshing di tengah tugas kuliah yang menumpuk.

Dan aku sedikit terlambat dari jam janjianku dengannya, alhasil aku berlari kecil untuk pergi ke halte bus. Mengingat  pula bus yang akan ku naiki dengannya akan tiba beberapa detik lagi. Itu sesuai jadwal yang ku lihat di aplikasi.

"Huft... Nan, maaf telat."

Dia menoleh ke arahku yang datang dengan nafas memburu. "Gapapa, jam Indonesia biasa kan?"

Aku hanya mengangguk lemah tanpa membela mengapa aku bisa telat. Aku hanya belum sanggup berbicara lebih banyak mengingat nafasku saat ini masih begitu pendek.

"Tarik nafas dulu, busnya sedikit telat. Macet parah."

"Kita mau kemana sih?", tanyaku yang sangat penasaran.

"Ke rumah nenekku."

"Mau ngapai? Tumben ngajak aku."

"Aku tau kamu lagi butuh pencerahan."

"Terus pencerahan yang seperti apa yang akan kamu kasih di rumah nenekmu?"

"Makan rendang misalnya, ditambah masakan padang dengan sambal yang super pedas?"

Aku mendengus pelan. Pencerahan yang dia maksud tidak melampaui ekspetasiku ternyata. "Cih, kalau gitu aku juga bisa beli di warung nasi Padang depan kos."

Dia tertawa kecil mendengar jawabanku yang sedikit ketus karena sedikit kecewa dengan ajakannya kali ini. "Ikut aja. Aku tau anak kos seperti kita butuh makan sepuasnya dengan harga terjangkau. Kalau di warung nasi padang kita cuma bisa beli satu porsi untuk berhemat. Kalau di rumah nenekku, kamu bisa makan sepuasnya dan bungkus bawa ke rumah. Cukup bayar ongkos bus saja."

"Iya iya."

Dia tertawa kecil lagi. Lalu bus yang kami tunggu datang juga, bus memang datang telat satu menit dari jam kedatangan yang seharusnya. Penumpang bus yang kami naiki cukup ramai hari ini.

Setelah hampir satu jam kami berada di bus, akhirnya kami sudah sampai di pemberhentian halte terdekat dari rumah nenek.

Sedikit berjalan kaki untuk memasuki gang rumahnya. Tak ada pembicaraan dalam perjalanan kami.

"Kita singgah kesini dulu ya."

Aku berhenti mengikutinya. Aku terkejut ketika sadar memperhatikan dimana kami berhenti. Aku dan dia berhenti di rumah yang saat ini ramai oleh orang yang banyak berpakaian serba hitam dengan tenda di halaman rumah dan ada bendera merah di sisi kaki tendanya.

"Ngapai?", bisikku padanya mengingat suasana saat ini di dominasi oleh kesedihan.

"Hal apa yang kamu lakuin kalau ada orang mati?", jawabannya sedikit menyindirku.

"Maksudku, kamu kenal sama mereka?"

"Tetangga nenekku. Aku tidak begitu mengenalnya."

Oke, aku berasumsi dia mendatangi upacara kematian ini karena neneknya juga berada disini. Jadi selagi menunggu neneknya pulang ke rumah, dia berada disini.

Kami duduk di kursi yang tersedia di luar rumahnya, tepat di bawah tenda yag terpasang di halaman. Aku melihatnya yang menerawang ke dalam rumah tempat jenazah yang sedang dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an oleh orang di sekitarnya.

"Do'a sebentar ya."

Aku hanya mengangguk lalu kami sama-sama tenggelam dalam do'a yang masing-masing kami utarakan dalam hati. Hatiku sedikit berdesir mengingat dimana aku berada saat ini. Aku mengingat kembali kapan terakhir kali aku mengunjungi ke tempat orang yang sudah meninggal seperti ini? Merantau ke luar kota membuatku tak mempunyai siapa-siapa yang bisa ku kunjungi ketika ada yang meninggal dunia seperti ini.

"Udah selesai?", tanyanya yang memberhentikan lamunanku.

"Udah."

"Yaudah yuk lanjut, ke rumah nenekku."

"Loh, ga nunggu nenek kamu?"

Dia menunjukkan wajah yang bingung. "Nunggu nenekku? Nenekku justru nunggu kita di rumah."

"Aku kira kamu singgah kesini karena nenek kamu juga disini."

Dia tertawa ringan sambil kami berjalan menuju ke rumah neneknya. "Aku kesini mau mengingatkan diri kalau suatu saat aku akan sepertinya. Kembali ke tempat yang seharusnya aku kembali. Kesisi-Nya."

"Meski kamu ga kenal siapa yang meninggal itu?"

Dia mengangguk. "Tidak salah juga kita datang untuk mendo'akannya kan? Sesama muslim."

"Iya sih, tapi aneh aja. Apa kamu sering seperti ini?"

"Hmm. Kalau aku tidak ada jadwal kuliah biasanya."

Aku berjengkit kaget mendengar jawabannya. Kenapa dia begitu niat untuk mendatangi ke tempat orang-orang ya g sudah meninggal?

"Sab, kematian salah satu cara kita untuk menghidupkan hati. Cara membahagiakan hati kita. Cara mengistirahatkan hati kita pula. Hati kita mati karena terlalu banyak dosa yang kita lakukan, hati kita sedih karena pencapaian-pencapaian yang ga dapat kita raih, dan hati kita terlalu sibuk memikirkan dunia sampai kita lupa tujuan hidup kita sebenarnya untuk apa."

"Alam akhirat?"

"Hmmm. Kematian salah satu cara untuk kita kembali mengingat untuk apa kita hidup di dunia ini, untuk akhirat."

"Kita selalu mengejar segala sesuatu yang menjadi tolak ukur untuk diterima masyarakat. Kita rela untuk berlelah-lelah mengejar ambisi apa yang akan di terima masyarakat. Kita rela kehabisan waktu istirahat bahkan lupa untuk bahagia demi menunjukkan kesuksesan yang di agungkan di masyarakat. Tapi yang lucunya, kita tak pernah rela untuk melelahkan diri untuk mengejar ambisi akhirat kita. Yang sesungguhnya itulah kehidupan abadi kita nantinya. Terlalu mendewakan manusia membuat hati kita mati, sedih, bahkan lupa siapa Tuhan yang sebenarnya."

"Kamu benar. Saat duduk di kursi tadi dan berada di atmosfer yang begitu sedih aku jadi lebih mengingatkan diri, sudah sejauh mana aku mempersiapkan diri untuk kembali kesisi-Nya. Dan menegur diriku kalau sudah seberapa jauh aku dari jalan-Nya dan sibuk dengan ambisi dunia yang sesungguhnya tak akan ku bawa kesisi-Nya kelak, hingga lupa untuk mempersiapkan diri."

"Jadi ga nyesel kan aku ajak kali ini?"

Aku menggelengkan kepala. "Engga. Ditambah ada makanan padang gratis sebentar lagi yang memasuki perut", candaku padanya.

"Yeee ..."

Kematian. Tidak seseram yang dibayangkan. Justru kematian adalah awal mula kehidupan yang akan datang. Kehidupan yang abadi. Tidak ada lagi ambisi-ambisi dunia yang menguasai, tidak lagi memikirkan perihal kesuksesan yang menjadi pengagungan manusia. Karena kematian menjadi pintu awal untuk merasakan nikmatnya surga yang sudah di sediakan Allah bagi mereka yang sudah mempersiapkan dirinya selama di dunia ini. Dan menjadi pintu awal pula untuk merasakan kejamnya neraka yang disediakan untuk mereka yang jauh dari jalan-Nya.

Tinggal kita memilih untuk ke pintu yang mana. Maka, persiapkanlah diri kalian untuk pintu yang kalian pilih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Praktikum Kimia Menentukan Perubahan Entalpi

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA MENENTUKAN PERUBAHAN ENTALPI REAKSI   OLEH             KELOMPOK                                    : II ANGGOTA                                       : 1.       ADI YULIANTTO                                                    2155905 2.       ARIZKY PERWIRA RANGKUTI                          2155908 3.       FADHILLAH NUR PRATIWI                                 2155915 4.       FAISAL ALFANSURI S                                          2155916 5.       FUADIANTI AULIA                                                2155919 KELAS                                              : XI IPA 6 TANGGAL PRAKTIKUM             : 15 September 2016 GURU PEMBIMBING                   : Darmayanto S.Pd., M.Si SMAN 1 (PLUS) MATAULI PANDAN T.P 2016-2017 1.1 JUDUL PRAKTIKUM             Menentukan Perubahan Entalpi Reaksi 1.2 TUJUAN PRAKTIKUM             1) Dapat menentukan perubahan entalpi pada reaksi ant

Gugurnya Sang Panji Uhud

Bismillah Matahari bersinar terlalu terik kala itu. Seperti biasa. Mekah memang seperti itu. Seorang pemuda tampan berjalan menyusuri Kota Mekah. Seantero Mekah juga tahu siapa pemuda yang tengah berjalan itu, ditambah lagi dengan ciri khas aroma parfum yang digunakannya. Parfum dari negeri Yaman, parfum mewah dan mahal yang tidak sembarangan orang memakainya. Dia pemuda yang banyak gadis memujanya, bukan hanya karena ketampanannya, tapi juga karena kecerdasan dan kecemerlangannya. Pemuda yang terlahir dari keluarga kaya dan penuh kemewahan. Tak pernah satupun keinginannya di tolak oleh kedua orang tuanya. Dia adalah Ibnu Umair, atau dikenal dengan lengkap sebagai Mush’ab bin Umair. Langkah kakinya terus menyusuri Kota Mekah hingga ia tiba di Bukit Shafa, di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Darul Arqam, begitulah kaum muslimin mengatakannya. Ia kesini bukan tanpa tujuan. Hari-harinya selalu diliputi tanda tanya mengenai sosok Muhammad yang selalu saja diperbincangkan oleh orang-orang

Lelah atau Menyerah

"Jika kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka kamu akan menanggung bahayanya kebodohan." - Imam Syafi'i - "Ada apa hari ini?", tanyanya disela rasa lelah yang saat ini menyelimutiku. Aku tidak memiliki tenaga hari ini. Cukup. Aku malas menjawabnya. Aku menelungkupkan kepalaku di atas meja.  "Hei!" "Aku lelah, ku mohon. Aku malas untuk berbicara." "Kau sedang lelah atau menyerah?" "Sama saja." "Tentu berbeda. Jika kau lelah silahkan istirahat sejenak untuk kembali menata hati dan kembali melangkah. Tapi jika kau menyerah, harus apa? Bukankah menyerah adalah akhir segalanya?" "Aku menyerah karena sudah sangat lelah dengan semuanya." "Apa yang kau lelahkan hingga membuatmu menyerah?" "Perjuangan ini." "Perjuangan semacam apa yang membuatmu begitu cepat menyerah? Perjuangan meraih ambisi dunia? Jika iya, pantas saja kau mudah menyerah." Mendengar jawabannya aku menegak