Saat ini keheningan menyelimuti diriku dan sosok yang berada di depanku. Dia sahabat kecilku. Hanya terdengar rintikan hujan yang baru saja jatuh membasahi bumi. Aku menatap buliran air yang turun dari kaca jendela cafetaria yang sering kami kunjungi ini.
“Sabda, satu tahun sudah berjalan”, ucapnya memecah keheningan.
Aku beralih menatapnya. Aku tahu kemana arah pembicaraannya, dan aku sangat membenci membahas tentang itu. “Terus?”, tanyaku tak acuh.
“Ayo pergi ke makam, Sab.”
“Lagi hujan.”
“Sab, itu bukan Cuma alasan saja?”, tanyanya dengan nada yang kali ini sedikit lebih tinggi. Mungkin dia juga sudah jenuh denganku yang selalu menghindar untuk membahas hal ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar malas untuk membahas hal ini.
Aku mengangkat bahuku tanda tak peduli.
Aku meliriknya, dia sedikit menghembuskan nafasnya perlahan dan mencoba menenangkan dirinya yang emosinya sempat tak terkontrol. “Sab, kehilangan seharusnya sebagai pelajaran untuk kita dalam memahami hidup, bahwa di dunia ini mustahil untuk abadi.”
Aku kembali menatapnya. Mencoba menanggapi ucapannya yang sangat sensitif untukku saat ini.“Waktu yang tergesa-gesa mengambil semuanya.”
“Mengambil apa, Sab? Apa pantas kau katakan bahwa waktu mengambil semuanya, sementara raga yang ada dalam dirimu saja pun bukan milikmu?”
“...”
“Sab, semesta ini milik-Nya. Dia yang mengatur segala waktu yang ada di dunia ini. Dimana keberhakanmu untuk mengatur semua yang kau kehendaki? Sementara dirimu saja hanya menumpang hidup di semesta-Nya.”
Aku terdiam.
“Sab, ayolah berdamai dengan hati dan takdir yang sudah Allah berikan. Takdir kehilangan sesuatu yang kita cintai itu mutlak akan datang pada setiap orang, tapi takdir untuk bersabar dan menerima semua itu adalah pilihan kita ...”
“Pilihan apakah kita mau menjadi makhluk-Nya yang memberontak atau justru menjadi makhluk-Nya yang menerima keputusan-Nya.”
Aku menatapnya dalam. Dia tersenyum padaku. Senyuman yang selama satu tahun ini tak pernah pudar dari pandanganku, senyum ketulusan yang menguatkanku, dan satu-satunya senyuman indah yang masih ku miliki di dunia sampai saat ini.
Semua yang dikatakannya padaku adalah sabda pertama yang membuka gerbang retinaku yang selama satu tahun ini telah ditutupi debu-debu yang membawa untaian kemungkaran terhadap Allah. Sabda itu membuka cakrawalaku yang selama ini tenggelam di ufuk keapatisan terhadap takdir Allah. Bahwa selama ini aku terlalu membenci takdir yang diberikan Allah untukku, dan membuatku menjadi apatis dengan semua takdir baik yang diberikan Allah.
Perlahan aku sadar dari koma berkepanjangan dari aksa yang tak dapat memandang dunia dengan bijak. Perlahan aku sadar ...
Bahwa sesungguhnya aku tak punya hak atas waktu yang sudah ditetapkan oleh Allah. Aku tak bisa mengatur waktu dengan sekehendakku. Entah itu detik, menit, jam, hari, bulan, hingga tahun.
Semuanya sudah diatur oleh zat Yang Maha Agung dengan seapik mungkin.
Kala itu juga aku mulai mengerti apa yang dikatakan Almarhum Eyang Habibi ...
Bahwa sesungguhnya ketidakabadian itulah yang abadi di dunia ini.
Aku juga sadar, bahwa aku masih memiliki takdir baik yang Allah titipkan. Namun selama ini pula aku menutup mata akan hal itu, selalu memandang buruk tentang takdir yang diberikan Allah.
Dan takdir baik itu adalah sahabat kecilku.
Yang membawaku ke tempat yang selama satu tahun tak pernah ku kunjungi.
Kali ini aku merintih di bawah langit yang mulai menghitam. Aku terduduk lemah di samping nisan yang bertuliskan dua nama yang meninggalkanku secara bersamaan satu tahun lalu. Dua orang terpenting dalam hidupku. Dua belahan jiwaku.
“Ibu ... Bapak ...”
Menetes air di pelupukku sambil menatap dan mengelus dua nisan yang terlihat jelas lukisan lumpur di batunya, menandakan bahwa nisan ini tak pernah dikunjung oleh siapa pun. Aku menghapus jejak lumpur itu. Dengan tangan bergetar aku membersihkan lumpur-lumpur itu sampai tak terlihat lagi sedikit jejak lumpur itu disana.
Semakin menetes air mataku. Mengingat betapa kejamnya diriku kepada mereka, sosok yang selama hidupnya mengorbankan apapun untukku. Namun saat mereka sudah pergi justru aku juga ikut pergi tanpa menitipkan seuntai do’a pun untuk mereka kepada Allah.
“Ibu ... Bapak ... Sabda datang ...”, lirihku dengan suara yang terisak.
Hening.
Tak ada yang menjawab.
Hanya senandung jangkriklah yang menyahut ucapanku.
“Maafin Sabda selama satu tahun ga pernah kunjungi Ibu dan Bapak.”
Komentar
Posting Komentar