Bismillahirrahmanirrahim
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (bagi semua urusannya). Dan
memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkannya (segala keperluan).”
(QS. Ath-Thalaaq : 2-3)
Kring
kring kring ...
Bunyi alarm sudah menggema di kamar
tidurku. Seperti biasa, perlahan aku membuka mata dan mencoba mengumpulkan
nyawa untuk bangkit dari kasur yang selalu membuatku nyaman. Kurang lebih
membutuhkan waktu tiga menit untuk aku bangkit dari kasur. Mataku mulai
menelisik ke arah jarum jam alarm yang ada di meja rias.
Astaghfirullah.
Aku tersentak kaget begitu melihat
jarum jam yang ternyata tak sesuai dengan waktu yang ku atur di malam hari.
Tok
tok tok ...
Suara ketukan pintu terdengar dari
luar. Itu pasti Abang atau Ibuku yang hendak membanguniku.
“Udah bangun ternyata. Kirain masih
nyaman sama mimpinya”, pemilik suara lembut yang familier ku dengar muncul dari
daun pintu kamar ku. Menampilkan sesosok laki-laki yang sampai saat ini menjadi
motivator terkuatku selain Ayah.
Ya, dia abangku. Masih dengan baju
koko, sarung, dan peci yang bertengger di badannya. Aku yakin, dia baru saja
pulang dari melaksanakan shalat subuh di masjid. Abangku mulai memasuki kamarku
dan menuju meja riasku untuk duduk disana sambil memperhatikan alarm yang
terpampang manis disana. Kebiasaannya kala pagi hari ketika aku tak menampakkan
batang hidung di dapur.
“Abaaang, kenapa ga banguni?”, rengekku
padanya.
“Loh, kan kamu udah pasang alarm ini
keras-keras. Butuh abang banguni lagi?”, tanyanya dengan wajah yang sedikit
menahan tawa sambil menunjukkan alarm itu ke arahku.
“Ih, tapi buktinya aku ga terbangun.
Jadi ga tahajud dan telat subuh nih!”
Dia tertawa ringan. “Kenapa kamu salahi
abang? Abang pikir kamu udah bangun, toh alarm kamu kedengeran sampai kamar
abang.”
“Abang jahat ih!”
“Lagian kamu sih, kenapa harus pake
alarm coba?”
“Yakan biar terbangun.”
“Buktinya nih ga terbangun, ga shalat
tahajud bahkan telat shalat subuh.”
Aku terdiam dan tak menanggapi ucapan
abang, aku tak tahu ingin berkata apalagi. Karena benar kata abang, untuk apa
aku memasang alarm tapi nyatanya tetap kesiangan.
“Tubuh kamu ini punya siapa?”, tanya
abang padaku dengan ciri khasnya yang lembut jika bertanya.
“Allah”, jawabku dengan cepat dan
yakin.
“Nah pinter. Jadi kenapa kamu gantungkan
tubuh kamu untuk bangun dari tidur sama alarm ataupun sama abang?”
Aku terdiam.
Memikirkan pertanyaan sekaligus jawaban
yang hendak ku berikan kepada abang.
“Dengar. Tubuh kamu ini milik Allah,
Dia yang menghidupkan dan menggerakkan kamu dalam segala hal. Segala urusan
sudah di urus-Nya dengan baik pula, lalu kenapa kamu ga minta sama Allah untuk
dibangunkan di sepertiga malam?”, ujar abang dengan suaranya yang menenangkan.
“Bukankah Allah yang akan membangunkan
kamu? Bukankah Allah yang akan memberikan kamu nafas hari ini, besok, dan
hari-hari selanjutnya? Lalu kenapa kamu justru bergantung sama alarm untuk
membangunkan kamu? Coba mintanya ke Allah, izin sama Allah, karena pemilik
tubuh kamu ini Allah bukan alarm.”, sambungnya lagi.
Perkataan abang membuatku tersentak.
Sadar akan kesalahanku selama ini yang selalu bergantung dengan alarm yang
bertengger di meja riasku. Bahkan, alarm itu sendiri makhluk Allah yang tak
bernafas. Lalu bagaimana bisa makhluk Allah yang bernafas sepertiku ini menjadikan
alarm sebagai tempat bergantungku untuk bangun dari tidur?
Maafkan aku hambamu ini ya Allah.
“Gimana caranya minta izin sama Allah,
Bang?” tanyaku penasaran.
Abang bangun dari duduk dan mengelus
kepalaku dengan lembut. Ini salah satu hal yang ku sukai dari abang. Dia
benar-benar pribadi yang sangat penyayang, terutama pada Ibu.
“Sebelum tidur berdo’a, banyak
berdzikir dan mengingat Allah, jangan lupa juga tekad dan niat yang kuat dari
hati kamu untuk bangun melaksanakan shalat tahajud. Banyak muhasabah diri atas
dosa yang kamu lakukan selama satu hari, bertaubat dan minta ampun sama Allah.
Yang terpenting minta do’a untuk dibangunkan, Insyaa Allah, Allah mendengar
do’a hamba-Nya yang tulus dan memiliki niat yang kuat.”
“Siap, laksanakan”, ujarku sambil
memeluknya erat.
Nyaman rasanya ketika aku berada
dipelukannya. Pelukan yang suatu saat akan ku rindukan dan akan menjadi pelukan
terfavorit selama hidupku.
Abang.
Sosok laki-laki yang selalu membimbing
dan menuntunku dengan cara yang lembut. Sosok laki-laki yang sangat mencintai
dan menghargai perempuan. Dan sosok yang selalu menjadi panutanku, selain Ayah
dan Ibu.
“Udah meluknya, sekarang bangkit dari kasur.
Ambil wudhu, waktunya shalat subuh, udah mau habis waktu tuh. Nanti Ayah kalau udah
pulang dari masjid marah kalau tau kamu belum shalat subuh.”
“Siaaap abang, laksanakan!”
Abang tersenyum padaku dan kembali
mengusap kepalaku dengan lembut. Dia pun berjalan ke luar kamar meninggalkanku
untuk melaksanakan shalat subuh. Rasa syukur tak henti aku ucapkan kepada
Allah, kala Dia masih memberikanku sosok abang yang baik dan shaleh.
Aku memandang ke arah meja rias, lalu
bangkit dari kasur untuk mengambil jam alarm yang bertengger disana.
“Maaf, mulai sekarang kamu ga usah
repot-repot banguni aku dengan suara keras kamu itu. Karena aku punya Allah”,
ujarku pada jam alarm itu.
Kembali aku meletakkan jam alarm di
meja riasku. Aku pun segera menuju kamar mandi untuk wudhu dan melaksanakan
shalat subuh. Biarlah jam alarm itu berdiri tegak di meja riasku, setidaknya
dia tetap bermanfaat untuk aku bisa melihat waktu.
Wallahu’alam
Bishawab.
Komentar
Posting Komentar