Langsung ke konten utama

Gagal?

“Allah yang menjadikan bumi itu mudah untuk kalian, maka berjalanlah di seluruh penjurunya dan makanlah sebagian rizki nya dan kepada Nya lah tempat kembali.”

(QS. Al-Mulk [67] : 14)

Bismillahirrahmaanirraahiim

Gagal.

Fase dimana seseorang dapat berada dititik terpuruknya. Begitu pun dengan saya. Saya merasa gagal ketika saya tidak dapat mewujudkan impian dan cita-cita saya, yang selama ini selalu saya rajut untuk menjadi sesuatu yang utuh dan indah.

Dokter. 

Berapa juta anak di Indonesia yang sangat menggaungkan profesi ini? Profesi yang ratingnya tak pernah turun untuk dijadikan pilihan sebagai impian dan cita-cita para manusia di bumi nusantara ini. 

Tak terkecuali saya, 

Bocah kecil yang sangat menyukai aroma rumah sakit. 

Sejak masa ingusan, tak pernah lari pandangan saya untuk menjadi seorang dokter. Entah apa alasannya, namun semakin saya berproses saya menjadi paham mengapa saya begitu menggaungkan dokter. Ya, bagi saya. Menjadi seorang dokter adalah salah satu cara untuk membuka gerbang kebaikan. Saya merasa hanya itu jalan satu-satunya untuk menjadikan saya orang yang bermanfaat untuk lingkungan saya. 

Nyatanya, 

Pandangan saya terlalu sempit untuk dunia yang diciptakan begitu luas ini. 

Teringat sekelebat ucapan yang dilontarkan Ibu saya, saat saya hendak mempersiapkan diri untuk mengikuti test perguruan tinggi. “Mbak, mamak sebenarnya ga berharap mbak lulus kedokteran.” 

Bisa kalian rasakan bagaimana pahitnya perkataan itu keluar dari seorang yang sangat kalian harapkan do’anya? Ketika kalian berdo’a dengan begitu teguhnya untuk impian kalian terwujud, namun dibalik itu sosok yang do’anya justru menembus langit tidak mengaminkan do’a kalian. 

Apa yang terjadi selajutnya? 

Persis. 

Do’a yang begitu teguh terlontarkan pun tak terijabah. 

Dari sini saya sadar, seberapa kuat dan seberapa teguh pun saya menghadap Allah untuk mengabulkan do’a saya, jika tanpa do’a yang menembus langit, do’a saya tidak akan ada apa-apanya di mata Allah. 

Tanpa kekuatan do’a Ibu, do’a saya bukanlah apa-apa. 

Dan itu baru saya sadari setelah saya mengalami fase terpuruk hidup saya. Yaitu ketika saya gagal menimbah ilmu di fakultas kedokteran. Inilah fase terpuruk saya. Fase dimana, saya benar-benar tidak ikhlas dengan keputusan yang Allah kasih untuk saya. 

Saya salah, ya sangat salah. 

Salah karena menyalahkan keputusan Allah yang bahkan saya pun tidak pernah tahu, rencana indah apa yang Dia rancang untuk saya kelak. Nyatanya, Dia selalu menghadirkan kepada saya sosok-sosok yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya akan hadir dihadapan saya dan membawakan pengaruh yang baik untuk saya. 

“Kamu tidak jadi dokter itu bukan berarti kamu gagal, bukan berarti tidak mampu. Jangan sekali-kali pernah berpikir seperti itu. Terkadang kita harus memahami bahwa jalan yang kita pilih itu benar-benar bukan jalan yang baik untuk kita, maka Allah alihkan jalan itu dari kita.” 

Satu nasehat yang masih rapi tersimpan di memori saya. 

“Mungkin Allah memang ingin kamu berada di koridor ilmu agama-Nya. Orang yang diizinkan Allah belajar ilmu agama itu adalah orang yang terpilih. Kalau ilmu dunia, kamu lihat saja, orang kafir pun bisa menguasainya. Tapi ilmu Allah? Itu Cuma untuk orang-orang yang dipilih-Nya. Bahagialah udah jadi orang terpilih itu.” 

Satu nasehat lagi yang menampar saya. 

Selama ini, belasan tahun umur yang saya lakoni hanya untuk mengejar ilmu dunia. Tak pernah sekalipun saya berada di jenjang ilmu agama-Nya se-serius saya berada di jenjang ilmu dunia, lalu ketika Dia mengizinkan saya untuk menuntut ilmu agama-Nya, justru hati saya masih sedikit belum ikhlas. Sehatkah raga ini? 

Artinya, gagal itu bukan berarti tidak berhasil. Bagi saya, definisi gagal adalah cara Allah mengalihkan saya dari hal yang buruk. 

Dan itu tak akan pernah terlepas dari hidup kita. 

Seyogianya dengan Rasulullah, yang gagal mendakwahkan islam dikalangan para petinggi Quraisy lalu Allah menggantikannya dengan orang-orang Anshar yang berbondong-bondong mengucapkan syahadat.Gagal itu hasilnya indah bukan? 

Tidak ada yang ditakuti dengan kegagalan. Karena dengan kegagalan itu justru mengajari kita untuk membuka cakrawala pikiran kita, bahwa tidak semua jalan yang kita pilih itu baik, justru dapat berakhir tidak baik. Maka Allah menurunkan kegagalan sebagai penghalang untuk kita terhindar dari jalan yang tidak baik itu.

Tidak ada kata gagal, itu hanya sebuah gerbang pengalihan dari Allah.

Wallahu'alam bishawab.

Komentar

  1. Hamasah buat kita kak, Allah yang lebih tau yang terbaik buat kita kan kak :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Praktikum Kimia Menentukan Perubahan Entalpi

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA MENENTUKAN PERUBAHAN ENTALPI REAKSI   OLEH             KELOMPOK                                    : II ANGGOTA                                       : 1.       ADI YULIANTTO                                                    2155905 2.       ARIZKY PERWIRA RANGKUTI                          2155908 3.       FADHILLAH NUR PRATIWI                                 2155915 4.       FAISAL ALFANSURI S                                          2155916 5.       FUADIANTI AULIA                                                2155919 KELAS                                              : XI IPA 6 TANGGAL PRAKTIKUM             : 15 September 2016 GURU PEMBIMBING                   : Darmayanto S.Pd., M.Si SMAN 1 (PLUS) MATAULI PANDAN T.P 2016-2017 1.1 JUDUL PRAKTIKUM             Menentukan Perubahan Entalpi Reaksi 1.2 TUJUAN PRAKTIKUM             1) Dapat menentukan perubahan entalpi pada reaksi ant

Gugurnya Sang Panji Uhud

Bismillah Matahari bersinar terlalu terik kala itu. Seperti biasa. Mekah memang seperti itu. Seorang pemuda tampan berjalan menyusuri Kota Mekah. Seantero Mekah juga tahu siapa pemuda yang tengah berjalan itu, ditambah lagi dengan ciri khas aroma parfum yang digunakannya. Parfum dari negeri Yaman, parfum mewah dan mahal yang tidak sembarangan orang memakainya. Dia pemuda yang banyak gadis memujanya, bukan hanya karena ketampanannya, tapi juga karena kecerdasan dan kecemerlangannya. Pemuda yang terlahir dari keluarga kaya dan penuh kemewahan. Tak pernah satupun keinginannya di tolak oleh kedua orang tuanya. Dia adalah Ibnu Umair, atau dikenal dengan lengkap sebagai Mush’ab bin Umair. Langkah kakinya terus menyusuri Kota Mekah hingga ia tiba di Bukit Shafa, di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Darul Arqam, begitulah kaum muslimin mengatakannya. Ia kesini bukan tanpa tujuan. Hari-harinya selalu diliputi tanda tanya mengenai sosok Muhammad yang selalu saja diperbincangkan oleh orang-orang

Lelah atau Menyerah

"Jika kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka kamu akan menanggung bahayanya kebodohan." - Imam Syafi'i - "Ada apa hari ini?", tanyanya disela rasa lelah yang saat ini menyelimutiku. Aku tidak memiliki tenaga hari ini. Cukup. Aku malas menjawabnya. Aku menelungkupkan kepalaku di atas meja.  "Hei!" "Aku lelah, ku mohon. Aku malas untuk berbicara." "Kau sedang lelah atau menyerah?" "Sama saja." "Tentu berbeda. Jika kau lelah silahkan istirahat sejenak untuk kembali menata hati dan kembali melangkah. Tapi jika kau menyerah, harus apa? Bukankah menyerah adalah akhir segalanya?" "Aku menyerah karena sudah sangat lelah dengan semuanya." "Apa yang kau lelahkan hingga membuatmu menyerah?" "Perjuangan ini." "Perjuangan semacam apa yang membuatmu begitu cepat menyerah? Perjuangan meraih ambisi dunia? Jika iya, pantas saja kau mudah menyerah." Mendengar jawabannya aku menegak