Langsung ke konten utama

Beralih Rupa

Hari seusai perang


"Anakku tertawan oleh mereka!"

"Demi Allah, musnahnya mereka adalah kebaikan dalam hidupku."

"Engkau benar ..."

Dua lelaki yang masih mengalir darah persaudaraan ditubuhnya tengah berbincang pelan di majelis sore yang sedang panas karena peristiwa mencekam beberapa hari lalu. Lelaki pertama wajahnya tak terdefinisikan. Menampilkan kemarahan. Menyiratkan kebencian yang memuncak. Namun pias wajahnya tak membohongi hatinya yang tengah merasakan kesedihan mendalam.

Lelaki kedua duduk bersila dengan pikiran yang berkecamuk. Memendam kedengkian yang pahit dan mematikan. Tertutup matanya, memperlihatkan dalam bayang bagaimana ayahnya terbunuh oleh pasukan orang yang mengaku sebagai Nabi baru.

Lelaki pertama menegakkan badan. "Andai tidak ku pikirkan bagaimana nasib keluarga dan hutangku yang belum terbayar. Akan ku bunuh Muhammad!" Suaranya mengancam.

Sang saudara berbinar matanya. "Engkau ingin membunuh Muhammad?"

"Ya!"

"Kalau begitu akan ku tanggung keluarga dan seluruh hutangmu. Bunuhlah Muhammad!"

Lelaki pertama itu bangkit tanpa aba-aba. "Rahasiakan urusan kita ini, Shafwan!"

Pergilah Lelaki Pertama dengan semangat yang bergemuruh. Beranjak dari majelis sore yang dihiasi langit oranye menuju gudang penyimpanan pedang miliknya. Diasahnya pedang terbaik miliknya dan tak lupa ia membubuhi racun di ujung hunusannya itu. Unta terbaik pun tak lupa ia pilih.

'Rencana sempurna untuk membunuh Muhammad!'

Sampailah lelaki itu di Kota Cahaya. Kota tempat Sang Nabi Baru dan pengikutnya berhijrah dari kaum berhala. Diderumkan unta miliknya di pintu masjid Nabi. Pedang masih terhunus ditangannya. Lalu tampaklah seorang lelaki yang ditakuti sepenjuru arab karena ketegasannya, keluar dari masjid nabi.

Dia Umar bin Khattab.

"Engkau setannya Quraisy, musuh Allah. Datang kemari tidak lain hanya karena ingin berniat jahat!" Teriak Umar.

"Aku datang untuk anakku, wahai Ibn Khattab."

Umar tak mempercayai lelaki itu. Menghadap ia kepada Sang Nabi. "Musuh Allah datang dengan menghunus pedang, Ya Rasulullah."

"Biarkanlah dia masuk."

Mendekatlah Umar kepada lelaki itu dengan mengalungkan pedang dilehernya. Menyeret dan memaksanya dengan kasar memasuki masjid nabi.

"Mendekatlah kalian dengan Rasulullah. Behati-hatilah kalian dengan musuh Allah ini!" Berkata Umar dengan tegas kepada sahabat-sahabatnya yang berada di masjid nabi.

"Lepaskanlah ia, Wahai Umar. Mendekatlah denganku." Mengembanglah senyum dari wajah Lelaki yang penuh dengan kasih sayang itu.

Lelaki itu mendekat. "Selamat Pagi!"

"Allah telah memuliakan kami dengan salam yang lebih baik daripada salammu. Salam Penghuni Syurga."

"Apa yang membawamu kemari?"

"Aku datang karena anakku yang ditawan pasukanmu Muhammad!"

Tercetak lagi senyuma dari wajah yang bercahaya itu. "Lalu untuk apa pedangmu itu?"

"Ini hanyalah pedang tumpul. Tidak berguna untukku bukan?"

"Jujurlah denganku tujuanmu datang kemaro."

"Demi Allah Muhammad, aku datang untuk anakku!" Tegaslah lelaki itu berkata.

Untuk kesekian kalinya, tercetak sebuah senyuman yang meluluhkan hati siapa saja yang memandangnya dari manusia terbaik. "Bukankah kau datang setelah duduk bersama sepupumu, Shafwan? Kalian berbincang tentang Perang Badr yang menimbulkan dendam di hati kalian, lalu engkau berkata 'Andai tidak ku pikirkam bagaimana nasib keluarga dan hutangku yang belum terbayar. Akan ku bunuh Muhammad!'. Lalu Shafwan menanggung keluarga dan hutangmu asal kau membunuhku."

Lelaki itu seperti tertelanjangi. Nabi baru itu telah memergoki kedoknya yang hanya diketahui oleh dirinya dan saudaranya, Shafwan.

"Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan-Nya. Demi Allah, tidak ada yang mengetahui perihalku dengan Shafwan dan tidak ada yang memberitahumu selain Allah. Segala puji bagi Allah."

Beralih rupa-lah lelaki itu menjadi rupa seorang muslim. Dari sosok Setan Quraisy dan musuh Allah menjadi seorang yang berjuang di jalan Allah. Musnalah rupa yang lalunya berganti menjadi rupa yang bercahaya.

"Ajarkanlah agama dan bacakanlah Al-Qur'an kepada saudara kalian ini, Umair bin Wahb." Perintah Lelaki Agung Sang Pembawa Cahaya kepada para sahabat setianya.

Ya lelaki beralih rupa itu adalah Umair bin Wahb ...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Praktikum Kimia Menentukan Perubahan Entalpi

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA MENENTUKAN PERUBAHAN ENTALPI REAKSI   OLEH             KELOMPOK                                    : II ANGGOTA                                       : 1.       ADI YULIANTTO                                                    2155905 2.       ARIZKY PERWIRA RANGKUTI                          2155908 3.       FADHILLAH NUR PRATIWI                                 2155915 4.       FAISAL ALFANSURI S                                          2155916 5.       FUADIANTI AULIA                                                2155919 KELAS                                              : XI IPA 6 TANGGAL PRAKTIKUM             : 15 September 2016 GURU PEMBIMBING                   : Darmayanto S.Pd., M.Si SMAN 1 (PLUS) MATAULI PANDAN T.P 2016-2017 1.1 JUDUL PRAKTIKUM             Menentukan Perubahan Entalpi Reaksi 1.2 TUJUAN PRAKTIKUM             1) Dapat menentukan perubahan entalpi pada reaksi ant

Gugurnya Sang Panji Uhud

Bismillah Matahari bersinar terlalu terik kala itu. Seperti biasa. Mekah memang seperti itu. Seorang pemuda tampan berjalan menyusuri Kota Mekah. Seantero Mekah juga tahu siapa pemuda yang tengah berjalan itu, ditambah lagi dengan ciri khas aroma parfum yang digunakannya. Parfum dari negeri Yaman, parfum mewah dan mahal yang tidak sembarangan orang memakainya. Dia pemuda yang banyak gadis memujanya, bukan hanya karena ketampanannya, tapi juga karena kecerdasan dan kecemerlangannya. Pemuda yang terlahir dari keluarga kaya dan penuh kemewahan. Tak pernah satupun keinginannya di tolak oleh kedua orang tuanya. Dia adalah Ibnu Umair, atau dikenal dengan lengkap sebagai Mush’ab bin Umair. Langkah kakinya terus menyusuri Kota Mekah hingga ia tiba di Bukit Shafa, di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Darul Arqam, begitulah kaum muslimin mengatakannya. Ia kesini bukan tanpa tujuan. Hari-harinya selalu diliputi tanda tanya mengenai sosok Muhammad yang selalu saja diperbincangkan oleh orang-orang

Lelah atau Menyerah

"Jika kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka kamu akan menanggung bahayanya kebodohan." - Imam Syafi'i - "Ada apa hari ini?", tanyanya disela rasa lelah yang saat ini menyelimutiku. Aku tidak memiliki tenaga hari ini. Cukup. Aku malas menjawabnya. Aku menelungkupkan kepalaku di atas meja.  "Hei!" "Aku lelah, ku mohon. Aku malas untuk berbicara." "Kau sedang lelah atau menyerah?" "Sama saja." "Tentu berbeda. Jika kau lelah silahkan istirahat sejenak untuk kembali menata hati dan kembali melangkah. Tapi jika kau menyerah, harus apa? Bukankah menyerah adalah akhir segalanya?" "Aku menyerah karena sudah sangat lelah dengan semuanya." "Apa yang kau lelahkan hingga membuatmu menyerah?" "Perjuangan ini." "Perjuangan semacam apa yang membuatmu begitu cepat menyerah? Perjuangan meraih ambisi dunia? Jika iya, pantas saja kau mudah menyerah." Mendengar jawabannya aku menegak