Bismillahirrahmanirrahim
"Hai, orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik."
(QS. Al Hujurat: 11)
Aku sudah selesai dengan seragam ngajiku. Tak jauh dari kediamanku, aku pun hanya mengendarai sepeda mini merah kesayanganku menuju Madrasah tempatku menuntut ilmu agama. Aku pun pamit dan menyalami mamak.
"Mak, aku pigi. Assalamu'alaikum." Teriakku pada mamak yang berada di halaman belakang sedang mengangkat jemuran. Aku tak peduli dia dengar atau tidak dengan teriakkan ku. Palingan kalau dia tidak dengar, selepas dari Madrasah aku akan dimarahi karena di kira aku tak pamit.
Padahal aku sudah pamit ...
Aku pun pergi dan mulai menancapkan kayuh sepedaku. Sama sepertiku, teman-temanku yang lain pun sudah meramaikan jalanan dengan sepedanya untuk pergi ke Madrasah.
Aku pun dengan semangat mengayuh sepedaku. Aku sangat senang jika pergi mengaji ke Madrasah. Selain aku mendapat ilmu, aku bisa bermain dengan teman-temanku. Ditambah lagi, di belakang gedung Madrasahku ada ladang sawah dan segunduk tanah yang aku dan temanku sebut dengan bukit. Disitulah biasanya aku bermain dengan teman-temanku. Kalau tak bercerita di bukit sambil makan jajanan telur gulung, kami akan pergi ke sawah untuk bermain layangan yang biasanya sudah kami persiapkan sejak di rumah. Atau hanya sekedar berlarian di pinggiran sawah.
Tak butuh waktu lama, aku pun sudah tiba di Madrasah. Aku pun memarkirkan sepedaku di perkarangan yang sudah di siapkan.
"Haaa ... Haaa ... Loooo..." Sapa seorang anak laki-laki dengan aksen gagapnya.
Aku kenal dia. Dia di kenal dengan si Aji gagap. Itu karena cara berbicara dia yang selalu gagap. Selain gagap, dia juga punya keterbelakangan mental. Dia tidak seperti orang normal, mulai dari sikap, cara berpikir, sampai pada tingkahnya. Dan inilah yang menjadikan dia banyak di bully dan tak memiliki teman. Tapi yang buat aku salut darinya adalah dia punya semangat yang kuat untuk belajar agama, apalagi belajar membaca Al-Qur'an.
Pernah aku tanya padanya perihal mengapa dia punya semangat yang kuat untuk mengaji, dia pun menjawab dengan wajah yang gembira. "Kan, Aaaa... Aji mau piiiii .... pinter baca Al-Qur'an, biar Allah ga beee ... beee ... benci sama Aji."
"Aji sekolah juga gak?", tanyaku.
"Eeee... eee... Enggak. Aji gak suuu ... suuu ... suka sekolah, ga peee... peee... penting sama Aji. Kaaa... kaaa .. kalo di sekolah pun baaa... baaa... banyak yang ngejeki Aji."
Aku meringis mendengar jawabannya. "Di ngaji kan banyak juga yang ngejeki Aji. Tapi Aji tetap mau ngaji."
"Kalo ngaji kan aaa... aaa... ada kau, Ayu, sama Zahra yang beee... beee... belain. Kalo sekolah ga aaa... aaa... ada", jawabnya.
Ayu dan Zahra adalah kawan dekatku di Madrasah. Aku, Ayu, dan Zahra memang tidak suka jika Aji sudah di bully. Kamilah yang selalu membela Aji jika sudah di bully. Karena aku dan kedua sahabatku yakin, bahwa Aji itu cuma berbeda dalam segi fisik namun dia juga punya hati yang juga ingin menjalankan hari dengan kenormalan.
Aku yakin, jika Aji bisa memilih dia pun pasti tak ingin terlahir dengan ketidaknormalan.
Aku selalu marah sekaligus sedih jika Aji mulai di bully oleh temannya. Aji juga pernah bercerita padaku, dia sangat sedih jika sudah di bully oleh teman-temannya. Bahkan dia pernah nangis karena bullyan teman-temannya. Namun yang terjadi, teman-temannya bukan berhenti membully dan merasa iba, justru mereka semakin membully Aji.
Aku yang paling sering mendengar cerita Aji tentang pembullyannya, terkadang ingin berteriak dihadapan para pembully itu, bahwa Aji juga punya perasaan dan dia juga ingin berteman seperti layaknya orang normal.
"Kaa.. Kaaa ... Kaaau baru sampe?" tanyanya padaku yang sedang mencagak sepedaku.
Aku mengangguk. "Iya, Ji. Baru aja sampe. Kau udah dari tadi?"
"Uuu ... uuu... udah."
Inilah yang aku salut dari Aji, dia tak pernah terlambat datang ke Madrasah, justru dia akan selalu datang paling awal. Dia juga tak pernah putus asa dalam belajar. Selalu berusaha membuat dirinya menjadi seperti temannya yang normal.
Aji punya keterbelakangan mental, tapi dia lebih disiplin daripada temanku yang normal tapi masih sering terlambat datang. Aji punya keterbelakangan mental, tapi dia ga pernah malas untuk menuntut ilmu, sementara temanku yang normal, masih ada yang malas-malasan untuk menuntut ilmu.
Lalu siapakah yang seharusnya patut di bully? Orang keterbelakagan mental yang punya semangat dan disiplin yang tinggi atau orang yang normal tapi lebih ahli dalam hal menghina dan sepele terhadap waktu?
.
.
.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk teman ngaji saya. Hari ini saya jumpa dengannya setelah sekian lama saya tak jumpa dan melihatnya. Qadarullah Allah menakdirkan saya dengannya bertemu.
Dia teman saya yang selalu datang ke kelas saya hanya untuk menghindari bully. Saya tak melihat sisi kejelekan ataupun kekurangan dalam dirinya. Justru dia punya kelebihan yang tak bisa dilihat dari orang yang tak bisa menghargainya.
Bully bukan cara lisan untuk menyampaikan argumen. Aji yang terlahir dengan keterbelakangan mental pun tak pernah ingin memilih hidupnya seperti itu. Karena semua adalah jalan Allah, untuk menguji hamba-Nya dalam kesabaran yang berbuah dengan Syurga.
Saya tidak banyak ingat apa yang pernah Aji ceritakan pada saya, ini terjadi sekitar 10 tahun lalu. Dan saya masih sangat kecil untuk memahami semuanya:D
Wallahu'alam bisshawab.
Salut ������
BalasHapus