Bismillahirrahmanirrahim
"Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tak melihat-Nya, (yakinlah) bahwa Dia (Allah) menyaksikanmu."
(HR. Bukhâri dan Muslim)
Seperti biasa, selepas maghrib, aku selalu menunggu mamak selesai shalat di ruang ibadah keluarga. Sambil membuka mushaf besar dihadapanku dan sedikit melafalkannya dengan pelan. Aku selalu takut jika hendak mengaji, satu hari pasti ada bekas cubitan yang bersarang di tubuhku. Dan itu berasal dari mamak. Sedikit saja aku salah huruf atau pengucapannya, cubitan itu melayang di paha atau lenganku. Aku tidak menyalahkan mamak, aku mengerti, disinilah aku yang salah. Dari kecil mamak selalu mendidik ku dengan keras, terutama perihal agama. Mamak tak pernah membiarkan aku terjerembab oleh dunia yang semakin hingar bingar. Agama adalah sesuatu yang sangat penting dan dasar seseorang untuk melakukan sesuatu.
Ada petuah mamak yang sampai saat ini ku pegang teguh.
“Ibadah itu Allah yang lihat. Kau masih bisa bohongi mamak biar ga dimarahi, tapi Allah gak bisa kau bohongi. Kau ga shalat, Allah tahu. Tinggal kau pilih, mamak atau Allah yang marah. Kalau mamak marah, masih mamak kasih makan kau. Tapi kalau Allah udah marah, mau jadi apa kau di dunia ini.”
Petuah mamak itu sampai sekarang menjadi tembok yang kokoh untukku. Dari situ aku menjadi tau seberapa pentingnya menjalankan syariat agama bagi hidup manusia, walaupun terkadang aku masih shalat diperujung waktu atau masih malas-malasan untuk ngaji. Tapi dari mamak aku tahu, dalam menjalani hidup ini harus dimulai dengan mengokohkan tiang agama terlebih dahulu.
Mamak tak akan pernah melepas anak-anaknya untuk mengaji sendiri sebelum bacannya lancar-selancarnya seperti dia. Mamakku tipe wanita yang perfeksionis, jadi harus dikerjakan sesuai maunya. Dan alhasil, saat aku sudah berseragam putih biru pun aku masih dibimbing ngaji sama mamak meskipun tidak setiap hari, namun minimal seminggu sekali aku harus ngaji bersamanya. Padahal aku merasa, bacaanku sudah bagus. Di sekolah pun guruku sudah memujiku dengan bacaan yang paling bagus diantara temanku yang lain, tapi bagi mamak aku masih jelek dalam bacaan.
Mamak sudah selesai shalat, dan aku pun sudah bersiap untuk melantunkan ayat suci yang diturunkan Allah kepada Rasul terkasih-Nya sebagai mukjizat terbesarnya, Baginda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Butuh waktu sekitar dua puluh sampai tiga puluh menit aku menyelesaikan satu ‘ain atau bahkan lebih, tergantung seberapa panjang satu ‘ain itu.
“Udah bagus, besok mulai ngaji sendirilah. Biar mamak fokus ngajari adikmu juga.”
Kalimat itu seketika membuat hatiku lega. Akhirnya, aku udah bisa ngaji sendiri tanpa bimbingan mamak lagi. Dan yang pastinya tak akan ada lagi cubitan yang membuat sakit tubuhku lagi.
Leganya ...
Allah memang baik padaku.
“Tiap maghrib tetap baca Al-Qur’an. Jangan malas-malas.” Aku pun mengangguk ketika mamak memperingatiku untuk tetap membaca Al-Qur’an selepas maghrib.
Aku pun menyalami mamak dan menutup mushaf. Setelah itu aku bertanya perihal masa depanku. “Mak aku boleh jadi dokter kan?”
“Masih lama lagi itu, belajar aja sekarang yang rajin. Jadi dokter ga mudah, harus jadi orang yang pintar.”
Aku merenung sedikit. Mamak tahu dari kecil impianku adalah menjadi seorang dokter. Saat ditanya orang pun aku akan selalu menjawab dengan lantang ‘Aku ingin jadi dokter!’. Dan mamak selalu tersenyum ketika aku menjawab itu dengan lantang dan semangat yang menggebu.
“Dokter itu mengabdi. Harus punya sikap dan mental yang kuat terus bisa bermanfaat untuk banyak orang. Ga harus jadi dokter, jadi apapun kau nanti harus bisa kasih manfaat untuk orang banyak. Kalau pun jadi dokter, jangan jadi dokter yang ngebebani pasien sama biaya yang tinggi. Kalau bisa jadi dokter di pedalaman sana kau, karena udah dikit dokter yang mau ngabdi untuk masyarakat sekarang, sementara banyak orang yang butuh dokter di daerah pedalaman.”
Mamak memang orang yang keras, namun disatu bagian sisi hatinya punya kepedulian yang tinggi kepada manusia.
“Jangan jadi dokter yang sombong sama rakyat kecil, karena mamak pernah ngerasai gimana susahnya berobat gak punya duit. Terakhirnya, mamak gak bisa buat kakekmu sembuh.”
Aku kembali merenung. Mamak memang pernah cerita padaku, ketika dia kesulitan untuk mengobati kakekku yang terkena penyakit hepatitis. Kendalanya adalah biaya yang besar untuk pergi ke dokter membuat kakekku tak mendapatkan penangan secara medis, dan hanya memakai obat tradisional yang dianggap ampuh, sampai akhirnya kakekku tak bisa bertahan.
“Jas putih yang bakal kau pakek nanti, jangan Cuma jadi simbol kalau kau udah jadi dokter yang hebat. Belum hebat namanya kalau belum bisa bantu rakyat kecil tanpa berharap imbalan sepeser pun. Dokter hebat itu, dokter yang berkorban dengan harta dan jiwanya.”
Apa yang dibilang mamak barusan adalah sebuah senjata yang hendak ku persiapkan untuk hari esok. Apa yang diucapkan mamak barusan bukan hanya sekedar kata yang terlintas dari lisan belaka, tapi ada sebuah makna yang harus ku petik dan kujadikan pelajaran untuk meraih mimpiku.
Kita manusia, kita makhluk sosial dan hidup dengan banyak orang, maka kita meraih sesuatu juga bukan hanya untuk diri kita aja. Kita hidup tidak untuk ke-egoisan, melainkan untuk menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk orang disekeliling kita.
Wallahu'alam bisshawab
Menginspirasi banget kak dil ❤ jazakillah khairan katsirr
BalasHapus