Langsung ke konten utama

Zindiq


Istana Kesultanan Utsmani, Malam yang Gundah.

Selesai dengan aktivitas menyamar menjadi rakyat jelata untuk membasmi keburukan yang terjadi di negerinya, Sultan Murad IV sudah siap untuk beristirahat. Tugasnya membasmi khamar, zina, dan perilaku buruk lainnya di kegelapan malam telah tuntas. Namun, hatinya bergejolak. Ada yang mengempas berat dari hatinya.

Kepiluan.

Dia mengelilingi pandangan ke ruang kamarnya. Berpikir sejenak. Hal apa yang belum ia lakukan hari ini? Ia mencoba mengelus dadanya yang masih terus saja bergejolak. Namun, hasilnya nihil. Hatinya terus bergejolak tak karuan. Ketenangan belum menghampirinya.
Lantas dia bangkit dari tempatnya menuju ke tempat dimana biasanya dia bisa mendapatkan ketenangan hati dan menemukan sebuah jawaban.

Sajadah.

Sultan menghamparkan sajadah dan mulai berkomunikasi dengan Rabb Semesta Alam. Allah azza wa jalla.

Dia mengaitkan kedua tangannya mencari sebuah titik temu. Namun, tetap saja ketenangan itu hanya sebentar ia dapat. Hatinya kembali dalam kepiluan yang terus bergejolak. Sultan mulai bimbang. Ditatapnya jendela tempat dia dapat melihat seluruh rakyatnya beraktivitas. Sultan tak ada jalan lain, dia pun mencoba memanggil para sipirnya untuk menanyakan hal apa yang sudah terjadi.

"Assalamu'alaikum ya Khalifah, apa yang membuatmu memanggil saya di malam yang larut ini?", tanya sipir yang sudah berada diambang pintu kamar Sang Sultan.

"Hatiku terus gelisah dan merasakan pilu. Aku sudah berwudhu dan melaksanakan shalat malam, namun tetap saja masih terasa ada yang mengganjal", jawab Sultan.

"Apakah kau hendak berkeliling lagi wahai Khalifah? Agar hatimu lebih tenang."

"Baiklah."

Sang sipir dan Sultan pun bergegas untuk kembali berkeliling memeriksa rakyatnya. Tak lupa baju lusuh dan atribut penyamar lainnya dikenakan Sultan dan sipirnya. Seperti biasa, mereka tak menampakkan diri mereka yang sesungguhnya.

Malam semakin dingin, dan rembulan semakin bersinar terang tanpa penghalang. Sultan dan sipir terus menyusuri jalan demi jalan di negerinya. Sampailah mereka disebuah desa yang jauh dari istana. Desa penghujung negerinya.

Sultan tampak menyisiri sesuatu yang aneh di atas jalanan. Penglihatannya ia tajamkan untuk memastikan sesuatu apa yang ada di depannya.
Sebuah pria tergeletak di jalan.

Sultan memeriksanya untuk memastikan. Dan benar, itu adalah pria. Pria yang sudah kehilangan nyawanya. Namun, yang membuatnya dilanda kebingungan 'Mengapa Jenazah Pria ini dibiarkan begitu saja sementara telah banyak orang yang berlalu lalang?'

Sultan mencoba menegur salah seorang pria bertubuh jangkung yang baru saja lewat dihadapannya, "Mengapa kalian membiarkan Jenazah Pria ini? Siapa dia? Dimana keluarganya? Kenapa tidak kalian bawa ke keluarganya?"

Pria Jangkung tersebut mencoba melihat jenazah yang dimaksud Sang Sultan, "Dia orang Zindiq, pemabuk, dan tukang zina. Biarkan saja dia!"

Sultan menimpali perkataan Pria Jangkung tersebut, "Bukankah dia golongan Nabi Muhammad? Dan bukankah dia saudaramu juga? Ayo kita bawa dia ke rumah keluarganya."

Pria Jangkung tersebut menjawab dengan kasar ajakan Sultna, "Bawa saja sendiri! Tidak pantas seorang zindiq untuk ditolong."

"Kalau begitu, tunjukkan rumah keluarganya kepadaku! Biar aku yang membawanya!", ujar Sang Sultan kepada Pria Jangkung tadi.

Pria Jangkung pun menyanggupi permintaan Sang Sultan dengan menunjukkan rumahnya Jenazah Pria tersebut. Di bantu dengan sipirnya, Sultan membawa Jenazah Pria tersebut ke tempat yang ditunjukkan Pria Jangkung. Tiba sampai di rumah Jenazah Pria itu, Pria Jangkung tersebut lantas langsung pergi dan tak mengeluarkan sepatah katapun kepada Sultan maupun sipirnya.

Sang Sultan mengetuk pintu rumah yang masih tertutup rapat. Setelah beberapa detik menunggu pintu itu terbuka dengan sesosok wanita bermata coklat yang menyambutnya.
Dialah istri Jenazah Pria itu.

Melihat apa yang dibawa orang yang mengetuk pintu rumahnya, Wanita Bermata Coklat itu mulai mengeluarkan air matanya.

"Semoga Allah merahmati mu, Wahai Suamiku. Aku bersaksi bahwa engkau sungguh orang yang shaleh", ujar Wanita Bermata Coklat itu.

Sang Sultan merasa iba melihat keadaan wanita dihadapannya. "Bersabarlah!"

"Bagaimana bisa kalian menemukan jenazah suamiku?", tanya Wanita Bermata Coklat itu disela tangisannya.

"Kami menemukannya di jalan dan tak seorang pun yang menolongnya, sampai kami datang dan menolongnya untuk membawa ke rumahnya dengan bantuan salah satu orang yang lewat", kali ini sipir yang menjelaskan kepada Wanita Bermata Coklat itu.

"Apakah yang dikatakan orang-orang kepada suamiku?", tanya Wanita Bermata Coklat itu lagi.

"Orang-orang berkata bahwa dia adalah seorang Zindiq, pemabuk, dan seorang pezina", jawab Sultan.

Wanita Bermata Coklat itu semakin terisak mendengar jawaban dari Sang Sultan. "Sudah ku duga!"

"Apa yang sebenarnya terjadi?", tanya Sultan memastikan.

"Sungguh suamiku setiap malam pergi ke penjual khamar untuk membeli semua khamar dengan uagnya lalu dibawanya pulang ke rumah, dan menumpahkan semua khamar itu ke kamar kecil, dan suamiku selalu berkata ... 'Semoga aku bisa mengurangi dosa khamr dari kaum muslimin'."

"Suamiku juga selalu pergi ke tempat perempuan yang berzina dan membawanya pulang ke rumah lalu memberikan uang kepada mereka dihadapanku dengan berharap agar para perempuan tersebut tidak berzina lagi. Kemudian suamiku berkata lagi ... 'Semoga aku bisa mengurangi dosa para pelacur itu dari pemuda muslim malam ini'."

Wanita Bermata Coklat itu terus menjelaskan kejadian demi kejadian yang dialami suaminya sambil menahan isakan yang membuat dadanya semakin sesak.

"Namun, orang banyak mengira dan menyaksikan bahwa Suamiku seorang peminum khamar dan pezina, serta meceritakannya dengan keburukan."

"Aku pernah berkata pada suamiku, bahwa orang sudah banyak menceritakannya dengan keburukan. Dan aku takut kalau dia mati tidak ada orang yang mau menolongnya."

Wanita Bermata Coklat mencoba menahan sesak yang masih menyelimuti dadanya dan mencoba melanjutkan ceritanya, "Suamiku lantas tersenyum."

"Istriku sesungguhnya aku tidak butuh pandangan mereka terhadapku, aku hanya butuh pandangan Allah terhadapku. Jangan khawatir akan kematianku, sayang. Aku akan ditolong nanti oleh Sultan Murad, Khalifah negeri kita."

Wanita Bermata Coklat berkata persis apa yang seperti dikatakan oleh suaminya kala itu. "Dan ternyata, keingingan suamiku tidak terwujud. Dia tidak ditolong oleh Sultan. Tapi Demi Allah, aku bersaksi bahwa suamiku adalah orang yang Shaleh."

Terisaklah Wanita Bermata Coklat itu tak henti. Dia tak sanggup melihat keadaan suaminya.

"Suamimu benar. Demi Allah, akulah Sultan Murad dan akulah yang akan mengurus jenazah suami mu sekarang", Sultan pun membuka penyamarannya sebagai rakyat jelata. Dia sudah menyingkirkan segala sesuatu yang mendukung penyamarannya.

Wanita Bermata Coklat itu terkejut. Tak menyangka orang yang sejak tadi berbicara padanya dengan baik hati membawa jenazah suaminya ternyata Sang Sultan.

Khalifah negerinya.

Rasa syukur tak hentinya ia ucapkan kepada Allah dan tak berhenti berterima kasih kepada Khalifah mereka yang rendah hati itu. Air mata pun terus mengalir dari pelupuknya.

Keinginan suaminya terwujud.

*****

Bahwa prasangka manusia sebenarnya tak dibutuhkan dalam kehidupan, karena prasangka manusia tak selamanya sejalan dengan apa yang kita perbuat. Prasangka manusia bisa salah. Namun, prasangka Allah tak akan pernah salah. Maka beribadahlah dengan mengabaikan prasangka manusia namun mementingkan prasangka Allah.

Cerita ini bersumber dari Kajian Ustadz Oemar Mita dengan diksi penyampaian cerita yang berbeda.


Wallahu'alam bisshawab. Maha Suci Allah dengan segala Cinta-Nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Praktikum Kimia Menentukan Perubahan Entalpi

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA MENENTUKAN PERUBAHAN ENTALPI REAKSI   OLEH             KELOMPOK                                    : II ANGGOTA                                       : 1.       ADI YULIANTTO                                                    2155905 2.       ARIZKY PERWIRA RANGKUTI                          2155908 3.       FADHILLAH NUR PRATIWI                                 2155915 4.       FAISAL ALFANSURI S                                          2155916 5.       FUADIANTI AULIA                                                2155919 KELAS                                              : XI IPA 6 TANGGAL PRAKTIKUM             : 15 September 2016 GURU PEMBIMBING                   : Darmayanto S.Pd., M.Si SMAN 1 (PLUS) MATAULI PANDAN T.P 2016-2017 1.1 JUDUL PRAKTIKUM             Menentukan Perubahan Entalpi Reaksi 1.2 TUJUAN PRAKTIKUM             1) Dapat menentukan perubahan entalpi pada reaksi ant

Gugurnya Sang Panji Uhud

Bismillah Matahari bersinar terlalu terik kala itu. Seperti biasa. Mekah memang seperti itu. Seorang pemuda tampan berjalan menyusuri Kota Mekah. Seantero Mekah juga tahu siapa pemuda yang tengah berjalan itu, ditambah lagi dengan ciri khas aroma parfum yang digunakannya. Parfum dari negeri Yaman, parfum mewah dan mahal yang tidak sembarangan orang memakainya. Dia pemuda yang banyak gadis memujanya, bukan hanya karena ketampanannya, tapi juga karena kecerdasan dan kecemerlangannya. Pemuda yang terlahir dari keluarga kaya dan penuh kemewahan. Tak pernah satupun keinginannya di tolak oleh kedua orang tuanya. Dia adalah Ibnu Umair, atau dikenal dengan lengkap sebagai Mush’ab bin Umair. Langkah kakinya terus menyusuri Kota Mekah hingga ia tiba di Bukit Shafa, di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Darul Arqam, begitulah kaum muslimin mengatakannya. Ia kesini bukan tanpa tujuan. Hari-harinya selalu diliputi tanda tanya mengenai sosok Muhammad yang selalu saja diperbincangkan oleh orang-orang

Lelah atau Menyerah

"Jika kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka kamu akan menanggung bahayanya kebodohan." - Imam Syafi'i - "Ada apa hari ini?", tanyanya disela rasa lelah yang saat ini menyelimutiku. Aku tidak memiliki tenaga hari ini. Cukup. Aku malas menjawabnya. Aku menelungkupkan kepalaku di atas meja.  "Hei!" "Aku lelah, ku mohon. Aku malas untuk berbicara." "Kau sedang lelah atau menyerah?" "Sama saja." "Tentu berbeda. Jika kau lelah silahkan istirahat sejenak untuk kembali menata hati dan kembali melangkah. Tapi jika kau menyerah, harus apa? Bukankah menyerah adalah akhir segalanya?" "Aku menyerah karena sudah sangat lelah dengan semuanya." "Apa yang kau lelahkan hingga membuatmu menyerah?" "Perjuangan ini." "Perjuangan semacam apa yang membuatmu begitu cepat menyerah? Perjuangan meraih ambisi dunia? Jika iya, pantas saja kau mudah menyerah." Mendengar jawabannya aku menegak