"Kasih sayang itu tidak terbatas pada kasih sayang seorang diantara kalian kepada sahabatnya (mukmin), tetapi bersifat umum (seluruh umat manusia)."
(HR. Ath-Thabarani)
Bismillahirrahmanirrahim
Ting ...
Suara dari benda pipih yang terletak di meja
belajarku terdengar. Aku mengabaikan sebentar, palingan juga dari grup kelas
ataupun dari salah satu akun official. Aku masih sibuk dengan laptopku,
mengetik kata demi kata yang terlintas dipikiranku.
Ting ...
Terdengar lagi suara susulan berikutnya. Dan
aku mencoba sedikit mengecek siapa yang mencoba memberi pesan kepada seorang
jomblo fi sabilillah di malam minggu hujan ini.
Wee
Wee
Martabak Kuy
Ternyata bersumber dari grup yang isinya orang
super labil selama aku duduk di Sekolah Menengah Atas ini. Grup line yang
isinya Cuma empat orang, termasuk aku, yang ternyata menghiasi layar pipihku
saat ini. Grup ini memang terkhusus untuk aku dan ketiga sahabatku. Sahabat? Ah
terlalu lebay rasaku menyebutkan mereka sebagai sahabat, pasalnya aku ataupun
mereka sama sekali gak pernah menganggap satu sama lain sebagai sahabat.
Terlalu gengsi memang kami, tapi masa SMA ku yang berada di perantauan ini
selalu di isi dengan cerita-cerita mereka yang konyol sampai yang labil.
Tiga orang yang punya sifat beda-beda.
Pertama, Si Pomed. Manusia yang paling dikenal seantero sekolah diantara kami
berempat. Julukannya pomed itu yang buat namanya melejit di angkatanku. Dia
orang yang berambut keriting tapi selalu tampak lurus kalau udah pake pomed.
Manusia paling pecicilan juga diantara kami berempat, dan manusia yang terjebak
oleh cinta monyetnya. Kedua, Si Kutilong. Singkatan dari kurus,tinggi, dan
long**. Punya badan ramping dan terlalu tinggi, paling pinter diantara kami
berempat tapi punya sistem otak yang terkadang buat dia jadi lemot luar biasa.
Ketiga, Bang Prem. Manusia yang dimata orang lain punya mata sinis dan
pembawaannya seram, makanya dipanggil Bang Prem. Tapi dia yang paling baik dan
kalem diantara kami berempat. Selalu ngalah dalam perdebatan dan ga terlalu
banyak bicara tapi setelah beberapa tahun bersama dengan orang yang banyak
bicara, Bang Prem pun mulai beradaptasi dan ikutan arus. Dan aku. Kalian aja
yang nilai gimana aku.
Kuy
Malam minggu, hujan-hujan. Martabak enak juga.
Satu pesan masuk lagi. Dan itu dari Si Pomed.
Sebelumnya, yang mengirim pesan adalah Si Kutilong yang aku tebak dia lagi gabut
di kamar kosnya.
Mager ...
Nah! Satu lagi sifat Bang Prem, dia mageran.
Kuy
Lapar. Tapi rantang ga selera.
Lapar. Tapi rantang ga selera.
Pomed : Kuy Kuy. Bang Prem dilarang mager
Pomed : telpon Wak Lebar sekarang
Kutilong : gak ada pulsa
Gak ada pulsa (2)
Pomed : gak ada pulsa (3)
Bang Prem : yaudah ambo ikut.
Bang Prem : Entar ye tak telpon Wak Lebar
Bang Prem terbaik
Pomed : Bang Prem terrbaik (2)
Kutilong : Bang Prem terbaik (3)
Bang Prem : siap-siaplah. Uwak tuh udah otw
Okee
Pomed : aman ketua
Kutilong : laksanakan
Dan itulah kebaikan Bang Prem, selalu menjadi
penyelesaian masalah dalam kemagerannya. Aku pun bangkit dari kasur dan
mematikan laptop yang dari tadi menemani kesendirianku. Gak butuh waktu lama, 3
pasukan udah nangkring di depan kos ku bersama kereta kencana Wak lebar. Wak
Lebar adalah uwak becak yang paling setia sama kami berempat. Gak pernah ngaret
dan yang utama ongkos murah meriah.
Ditengah rintikan hujan, kami pun pergi ke
warung martabak yang biasa kami datangi. Warung yang menjadi saksi biksu
tentang cerita kami berempat. Setelah menempuh dengan menembus hujan selama 10
menit, akhirnya kami sampai dengan selamat di warung yang kecil tapi nyaman. Dari
sekian kafe yang menjamur di negeri perantauan ini, warung martabak ini menjadi
tempat favorite aku dan ketiga sahabatku. Di warung ini kedekatan dan tali
persahabat aku dan ketiga sahabatku mulai terikat kuat, ya walaupun di warung ini
juga banyak perdebatan yang sering keluar.
Warung papan bercat kuning ini menjadi tempat
dikala aku dan ketiga sahabatku jenuh dengan semua persoalan yang kami punya. Disinilah
aku dan ketiga sahabatku belajar, cerita, tertawa, berdebat sampai berantam sekalipun.
Warung ini basecamp untuk aku dan ketiga sahabatku.
“Wak martabak mesir satu, martabak bangka rasa
coklat keju satu, kopi susu dua, sama teh susu dua”, pesan Pomed pada Wak
Martabak yang bosan dengan kehadiran kami berempat.
“Oke, tunggu ya”, jawab Wak Martabak dengan
senyumnya.
Alasan lain warung ini sebagai basecamp untuk aku
dan ketiga sahabatku, karena murah dan makanannya enak. Martabak menjadi
makanan favorite kami dari sekian menu yang tersedia. Aku dan ketiga sahabatku
duduk di meja biasa, meja kebangsaan kami. Kebetulan warung masih sepi jadi
kami masih bebas untuk duduk di meja kebangsaan. Sambil menunggu pesanan,
seperti biasa kami pun terhanyut dalam pembicaraan yang terkadang ga terlalu
penting untuk dibicarakan, sampai terkadang nimbuli debat yang berkepanjangan. Tapi
aku selalu nikmati itu semua, karena dengan mereka aku benar-benar bisa bebas
dan menjadi diriku sendiri tanpa malu ataupun gengsi. Semua rahasia selalu
tersingkap dan beruntungnya mereka adalah pribadi yang selalu mengembalikan
semuanya kepada Tuhan. Itulah kenapa aku senang dan nyaman saat bersama mereka.
Pembicaraan terus mengalir, selalu aja ada topik untuk dibicarakan. Sampai pada
akhirnya kami membahas topik perihal masa depan.
“Aku ga bisa coba akpol we”, ujar Bang Prem.
“Kenapa Bang Prem?”
“Umur ga mencukupi.”
“Aku juga takut ga lulus we", Pomed menimpali.
“Iya aku juga”, sambung Kutilong.
Aku memperhatikan mereka. “Kok jadi pesimis
semua ha?”. Aku heran kenapa mereka menjadi pesimis dengan impian mereka. “Kalau
kalian ragu, Tuhan juga ragu untuk ngasih itu ke kalian.”
“Kalian udah jelas sama cita-cita kalian. Kau mau
ambil FK, Kutilong ambil STAN. Bang Prem ambil Akpol. Aku sama sekali buntu gak
tau mau kemana”, sahut Pomed.
“Aku gak bisa tes Akpol Med, jadi aku juga ga
tau mau kemana ini”, Bang Prem menimpali ucapan Pomed.
Aku dan Kutilong masih saling diam.
Pomed tampak bingung. “Belajar juga makin
malas aku we.”
Aku menegakkan badan, menyeruput minuman yang
ada didepanku. “Ketakutan itu pasti sama-sama kita rasakan we, tapi bukan
berarti kita juga harus terbelenggu sama ketakutan itu. harus dilawan jangan
dijadikan sarang dihati dan pikiran kita. Itu yang buat kita ga mau bangkit.”
“Pas! Itu we dengerin. Kalau kalian takut
siapa lagi yang bisa buat kalian berani”, Kutilong menambahkan.
“Kita punya Tuhan ekan?”, tanya Bang Prem.
“Iya kita punya Tuhan. Semua yang nentuin
Tuhan, yang penting kita berusaha dan berdo’a. Hasilnya kita gatau mana yang
terbaik di mata Tuhan. Apa yang dikasih Tuhan nantinya itulah yang terbaik. Yang
penting usaha dan do’a. Jangan takut apalagi ragu'', jawabku.
Kutilong mengambil tisu dan melemparkan tisu
itu ke arah Pomed yang masih tampak galau. “Tuh Med denger, kita punya Tuhan! Ga
perlu takut.”
Pomed ga terima dilempar tisu pun membalas
Kutilong. “Gausah ngelempar tisu juga uwak uwak.”
“Makanya jangan sok galau kau, Med.”
“Ya galau lah. Soal masa depan ini cuy, kalau
aku gagal. Gagal juga nanti anak-anakku.”
“Kek ada aja yang mau samamu, Med.”
“Yaaah, sepele. Nanti kalau udah sukses banyak
ini yang ngantri. Aku luan nanti nikah dari kelen.”Aku dan kedua sahabatku yang lainnya pun
menampilkan wajah yang sma-sama jijik mendengar perkataan Si Pomed.
“Udahla we, intinya jangan nyerah dan ga boleh
takut. Serahi semuanya sama Tuhan. Semangaaat!”, ucap Bang Prem yang menggebu.
“Semangaaaaat!!”
Dan yang ditunggu-tunggu pun datang. Martabak mesir
dan martabak bangka coklat keju udah terhidang dihadapan kami, dan siap untuk disantap.
Aku sangat bersyukur, di negeri perantauan ini Tuhan memberikan mereka sebagai
sahabatku. Orang yang selalu mendengar keluh kesah ku, memberikan masukan, dan
selalu mengingatkan pada kebaikan.
Dan warung martabak ini kelak akan ku rindukan
disaat kaki tak terpijak lagi dinegeri perantauan ini. Tentang ketiga sahabatku
dan tentang cerita yang mengalir begitu indahnya.
Huaaaaaaaaaaaaa kenapa nggak bilang" nulis ini. Sedih akuuuu, rinduuuuuu.... Kapan lagi meja martabak itu, bakal jadi saksi kita balik lagi dengan cerita masing-masing. Aku sedih, sampek nangis 😢
BalasHapus